Minggu, 03 April 2016

DESAHAN VANDA ADIK KELASKU

Cerita Panas 2016


Ini kebiasaan teman-temanku setiap jam istirahat ketiga pada hari Kamis. Kami, siswa-siswi SMA, pulang sekolah pukul 13.30 setiap harinya; sementara siswa-siswi SMP sudah mengakhiri pelajaran pada pukul 11.45, bertepatan dengan jam istirahat ketiga kami.

Setiap saat itulah, teman-temanku berdiri bersandar di balkon dan menonton siswa-siswi SMP sekolah kami yang sedang berjalan pulang sekolah. Seringkali mereka mengomentari siswi-siswi mana yang imut atau cantik, dan terutama yang menurut mereka memiliki tubuh yang seksi. Beberapa temanku bahkan sering bersiul pada mereka, atau menggoda mereka, hanya untuk menarik perhatian salah satu dari cewek-cewek SMP yang cantik-cantik itu. Hari ini pun begitu, sementara aku duduk di bangku panjang sambil mendengarkan iPod ku.

“Dit! Dit! Vanda tuh!”

Nah, di antara semua cewek SMP yang lain, ada satu cewek yang paling menarik perhatian hampir semua temanku (dan sepertinya hampir semua cowok di SMA dan SMP, dan mungkin bahkan beberapa bapak guru). Cewek itu adalah Vanda, adik perempuanku. Vanda 4 tahun lebih muda dariku, dia duduk di kelas 2 SMP.

Sebenarnya Vanda sama seperti cewek-cewek yang lain; dengan tinggi badan 153 cm dan berat 46 kg, Vanda tergolong kecil mungil, tidak tinggi semampai. Rambutnya yang hitam pun hanya dipotong pendek sebatas leher. Kesehariannya di sekolah selalu mengenakan kerudung / hijab modis sehingga menambah kecantikannya karena memang wajahnya sangat imut dan kulitnya pun putih mulus tanpa cacat, tapi bukan itu yang membuat teman-temanku tergila-gila padanya.

“Duh gilak tuh anak cute banget sih!!”
“Sexy banget, maksud lu..!?”

Yap… Kontras dengan wajahnya yang sangat imut seperti anak kecil, Vanda bisa dibilang sangat sexy. Alasan utamanya—dan aku yakin bagian inilah yang selalu dilihat oleh hampir semua cowok—Vanda memiliki dada berukuran 34 C, yang termasuk sangat besar untuk anak seusianya. Bentuknya pun sangat bulat dan penuh.

“Duh gue ngaceng… Gede banget gilak…”
“Hus! Ada kakaknya tuh.. Ntar lu dibunuh… Hahaha”

Tiba-tiba teman-temanku ber “Oooh…!!” seru. Aku melongok ke arah lantai dasar, mencari tahu penyebab “Ooh..!!” tiba-tiba itu. Pantas, pikirku. Vanda sedang berlari berkejar-kejaran dengan beberapa cewek lain. Aku tahu apa yang diperhatikan oleh teman-temanku: dada Vanda yang berguncang-guncang menggiurkan saat ia berlari. Aku melirik ke arah teman-temanku, dan aku dapat melihat tonjolan-tonjolan tegang di bagian tengah celana panjang mereka.

“Heh! Udah! Adek gue bukan tontonan!” ujarku. Teman-temanku menoleh.
“Yee… Salahnya adek lu punya badan kayak gitu..” kata Martin, salah satu temanku.
“Toket kayak gitu, lebih tepatnya,” kata yang lain.
“Ah, udalah! Nyebelin…” kataku gusar. Aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan teman-temanku yang menatapku gelisah.

Sebenarnya hal ini sudah membuatku gelisah beberapa waktu belakangan ini. Sejak adikku kelas 6 SD, entah kenapa seolah-olah dadanya seperti dipompa; pertumbuhannya pesat sekali! Hampir setiap pergantian semester, adikku ini mengeluh bra-nya sudah kesempitan, dan ternyata ukurannya sudah bertambah besar lagi. Di saat teman-teman seusianya masih belum mengenakan bra, Vanda sudah mulai memilih bra mana yang harus dikenakannya, dan saat teman-temannya mulai merasakan pertumbuhan di dada mereka, milik Vanda bahkan sudah jauh lebih besar dari milik ibuku.

Dan, yang paling membuatku khawatir, adalah kenyataan bahwa bagaimana pun, aku juga seorang cowok normal, yang juga bisa terangsang bila melihat sepasang dada yang bulat dan sangat besar seperti miliknya. Bahkan sudah beberapa lama ini aku menahan godaan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang kakak pada adiknya.

“Yang ini aja…”
“Nggak ah, Kak… Bagusan yang ini tau…”
“Hmm… Masa sih?”

Sore itu aku dan Vanda sedang berada di dalam sebuah toko yang menjual berbagai kartu ucapan di sebuah mall di dekat rumah kami. Kami sedang memilih kartu ucapan untuk salah seorang teman Vanda yang akan berulang tahun sebentar lagi. Sudah sekitar setengah jam kami berputar-putar di antara rak-rak yang memamerkan berbagai macam kartu ucapan yang unik dan lucu, tapi kami masih belum menemukan pilihan yang tepat. Vanda menarik sebuah kartu bergambar ****** kartun lucu yang sedang mendengarkan iPod dari raknya.

“Kalo yang ini?” tanyanya kepadaku.
“Hmm… Boleh juga, sih…” jawabku. “Bisa diputer-puter, ya?”
“Ya… Lucuu…”

Aku tersenyum, menunduk, mencium ubun-ubun kepalanya. Vanda mendongak, menatapku sambil tersenyum. Ia menyenderkan kepalanya ke pundakku.

“Luv u, Kak…”
“Luv u too, Van…”

Sambil tetap meletakkan kepalanya di pundakku, ia kembali melihat-lihat kartu bergambar ****** yang ia ambil tadi. Seolah ia telah menentukan pilihannya.

“Yang ini aja ya, Kak?”
“Ya… Itu bagus,” jawabku.

Vanda nyengir manis sekali, kemudian menggandeng tanganku ke arah kasir. Setelah membayar, kami keluar dari toko kartu itu, masih bergandengan tangan. Kami benar-benar menikmati jalan-jalan kami petang hari itu; kami berjalan perlahan-lahan, sesekali aku memainkan rambutnya yang pendek-kaku, kemudian menciumnya lembut. Vanda membalas dengan tusukan nakal jari telunjuknya di pinggangku, bermaksud menggelitikku. Kami saling berbagi candaan dan menggoda satu sama lain, berfoto berdua, pokoknya benar-benar menyenangkan.

Yap. Seperti itu lah aku dan Vanda, adik perempuanku satu-satunya, sekarang. Mesra sekali. Sejak kejadian malam itu  kami menjadi sangat dekat. Kami memang sudah memiliki hubungan yang baik sebelumnya—kami hampir tidak pernah bertengkar—dan kejadian itu sungguh-sungguh merekatkan kami, layaknya sepasang kekasih.

Sejak kejadian malam itu, kami saling berjanji untuk tidak mengulangi kegilaan seperti itu lagi… Dan kami berhasil! Kami menonton pertandingan-pertandingan Euro selanjutnya dengan seru, dan saling menghormati satu sama lain, menyadari status kami sebagai kakak-adik.
Tapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa sejak malam itu, Vanda selalu ada dalam pikiranku. Dan setiap malam, sebelum tidur, bayangannya lah yang muncul di benakku. Aku tahu aku harus menolak pikiran-pikiran itu, tapi hasilnya malah pikiran itu muncul semakin menggila setiap kali aku onani. Setiap kali aku melakukannya, selalu muncul gambar-gambar kejadian malam itu; bagaimana aku meremas dadanya yang empuk dan besar, bagaimana putingnya mengeras, bagaimana pahanya yang mulus menjepit dan menggesek tititku, erangan dan desahan nikmatnya, dan tubuhnya yang tergeletak lemas berlumuran spermaku tak pernah bisa kuhapus dari pikiranku. Bayangan itu sungguh efektif dalam merangsangku, begitu efektifnya hingga tak cukup hanya satu kali keluar saat onani untuk memuaskan nafsuku.

Aku tak tahu apa yang Vanda alami setelah malam itu; apakah dia juga mengalami apa yang aku alami atau tidak, aku tak tahu. Yang aku tahu, ia semakin sayang pada kakaknya, dan—jujur saja—ia terlihat semakin sexy sejak malam itu. Seolah dadanya yang besar bertambah besar dan menonjol menggiurkan, tetapi wajahnya yang imut bertambah imut dan polos. Ooh… Paradoks seperti itu sungguh menggairahkan!
Bersambung
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar