Selasa, 26 April 2016

Ada Apa Dengan Amelia



Cinta kadang mendatangkan kebahagiaan & keindahan yang tiada tara, namun kadang semua itu harus berakhir dengan air mata & kesedihan yang amat mendalam. Kekuatan cinta dapat mengubah kehidupan seseorang berbalik 180 derajat, dapat menghipnotis hingga kita bisa lupa akan segala2nya, dengan kekuatan cinta pula seseorang mampu melakukan apa saja demi orang yang sangat dicintai. Kisah ini bukanlah karangan dari khayalan nafsu & sex semata, melainkan kisah yang memang benar-benar aku alami, aku akan berbagi pengalaman agar siapapun yang membacanya dapat mengambil hikmah dari kisahku ini, jangan sampai kejadian yang seperti aku alami ini terulang kembali.Namaku Amelia, usia 23 thn, aku seorang karyawati sebuah perusahaan kontraktor asing dibilangan Jakarta. Berawal ketika aku duduk dibangku kls 3 disalah satu SMU Swasta di Jakarta. Januari ’98, Sepulang sekolah, aku dan 2 sahabatku Dian & Gita berencana untuk jalan-jalan di Pondok Indah Mall sekedar window shopping & ngeceng, yaah maklum deh namanya juga ABG, lagi ganjen-ganjen & rajin-rajinnya cari perhatiaan sama yang namanya cowok. Setelah ganti baju, kitapun berangkat dengan menggunakan BMWnya Gita, dia yang paling cantik dan tajir diantara kita b’2. Setelah puas puter-puter, kitapun makan di Olala cafĂ©, tempat yang tidak akan pernah aku lupakan. Sedang asik-asiknya kita ngobrol, salah satu pelayang datang menghampiri kami “Maaf mba mengganggu, eem..mas-mas yang duduk dibelakang nitip salam tuh, ini ada es cream untuk mba b’3 dari mereka” Spontan kami b’3 menoleh kearah cowok yang ditunjuk pelayan. Woow..ternyata 2 cowok yang ganteng, keren dan sungguh rapi, “Psst, boleh juga tuh! Kayanya sih udah pada gawe tuh cowo ” Gita dengan pelan memberi komentar tentang kedua cowok itu. Singkat cerita kitapun berkenalan dan saling bertukar cerita. Rio dan Iqbal, ya itulah nama kedua cowok itu, mereka bekerja di salah satu perusahaan Jepang dibilangan Sudirman Jakarta. Rio memeng tidak seganteng Iqbal, tingginya kira-kira 180, badannya tegap, kulitnya bersih dan berkarisma, pokoknya enak dipandang deh. Hampir sejam kita ngobrol, aku dan kedua sahabatku putuskan untuk pulang, setelah saling bertukar no. telp. kitapun berpisah. Setiba dirumah, aku masih benar-benar tidak bisa melupakan bayangan wajah Rio. Siapa sangka, tepat jam 9 malam telp. rumahku berdering, bergegas kuangkat, “Selamat malam, bisa bicara dengan Amelia?” dengan cepat kujawab “Ya malam, ini aku sendiri, siapa ya ?” “Rio” Teeng..jantungku tiba-tiba berdetak kencang, aku sama sekali tidak menyangka kalau dia bakalan telp. Seneng, gembira, yaah pokoknya hapy banget deh. Kitapun ngobrol panjang lebar, nggak terasa 3 jam kami ngobrol. Dari situ aku ketahui kalau dia itu orang Bandung, S1 di Unpad Bandung, S2 di Jepang dan tinggal di Cilegon. Sabtu, selesai jam sekolah, seperti biasa aku nggak langsung keluar kelas melainkan ngobrol dengan teman-teman kelasku, tiba- tiba HPku bunyi, kulihat dari layar ‘RIO” lagi nama itu membuat aku senang, bergegas kuangkat “Hai mel, sudah pulang belum? Aku ada digerbang sekolah kamu nih”. GERBANG, belum lagi kujawab, buru-buru aku keluar kelas dan kutengok kegerbang, yaa..RIO, dia duduk didalam mobil Taft hitam, tangannya masih memegang HP, “Hai, aku ada diatas” sambil melambaikan tangan memberi kode keberadaanku, dia pun menoleh kearahku tersenyum menatapku. Aku tanpa sadar loncat-loncat kegirangan, “Bentar aku turun ya” setelah mengambil tas dikelas, akupun setengah berlari menuruni anak tangga, agak cape memang maklum deh kelasku kan letaknya dilantai 3. Kamipun jalan untuk makan siang. Seperti sudah saling kenal lama, tidak ada rasa canggung diantara kita. Sejak saat itu aku dan Rio semakin dekat, setiap hari kami selalu kontak melalui telp, setiap sabtu dia selalu menjemputku ke sekolah, minggu pagi kami joging disenayan atau pergi berenang, pokoknya hari-hari ku menjadi semakin indah bersama Rio. Minggu, akhir Maret’98. Salah satu hari yang sangat berkesan dalam awal perjalanan cintaku. Sehabis lari pagi ketika kami akan pulang, dari dalam dashboard mobil, Rio memberi setangkai bunga mawar merah yang masih kuncup, “Mel, aku sayang kamu ” Romantiis..ya sungguh romantis saat itu, dia mengecup keningku. “Makasih ya Rio” sambil tersenyum ku cium bunga pemberiannya. Tidak ada yang berubah diantara kami, malah kami semakin dekat. Malamnya aku benar-benar tidak bisa tidur, aku terus memegang bunga pemberiannya. Hari-hariku semakin bersemangat, Rio sangat perhatian kepadaku, makan, tidur, belajar, selalu diingatkannya. Begitupun sebaliknya, aku juga memberi perhatian penuh untuk pacarku yang amat aku cintai. Dia adalah pemicu semangat belajarku, akupun jadi semakin giat belajar, karena aku nggak mau kelihatan bodoh dihadapannya. “Sayang aku nggak mau loh nilai pelajaran kamu menurun karena dekat denganku, aku mau prestasimu bertahan, malah kalau bisa naih” kata- kata itu yang membuatku semakin terus berusaha. Kedekatanku dengan Rio mendapat lampu hijau dari orang tua dan saudara- saudaraku, dia begitu sopan dan santun, baik dalam perbuatan maupun dalam bertutur kata, mungkin itu yang membuat dia mendapat nilai tambah dari orang tuaku. Akhir April ”98 Rio terserang demam hingga tidak dapat kerja. Panik, ya aku sungguh panik dan cemas saat itu, aku putuskan untuk menjenguknya. Jum’at aku bolos sekolah, dengan menggunakan Bus aku pergi ke Cilegon. Sesampainya disana aku langsung kekamarnya, RIO..cintaku sedang terbaring diatas tempat tidur, wajahnya yang bersih telihat merah, aku menghampirinya, kuraih tangannya, panas..ya panas yang aku rasakan dari tangannya, kucium tangan itu tanpa sadar air mataku menetes jatuh membasahi tangannya “Sayang, kamu jangan sakit dong, aku nggak tega ngeliatnya ”. Matanya menatapku sayu “Aku nggak apa-apa sayang, cuma agak demam, besok juga sembuh” Dengan senyum yang dipaksa dia mencoba meyakini aku, “Nggak, kamu harus ke dokter, biar aku temenin yah? Please”. Dengan menggunakan taksi kami berangkat ke RS yang letaknya agak jauh dari rumah Rio. Setelah diperiksa dan diberi obat, kamipun pulang. Sesampai dirumah aku langsung memberi Rio makan, kusuapi dia pelan-pelan lalu kuberi dia obat dari dokter tadi. Tidak lama Rioku pun tertidur, aku menatap wajahnya, air mataku terus menetes, mungkin karena lelah & kebanyakan menangis akupun tertidur disampingnya. Aku terbangun ketika ku merasakan ada seseorang yang mencium keningku, RIO ku, cintaku, dia memandangku, pandangan yang penuh kasih sayang, pandangan yang begitu dekat. “Makasih ya sayang, aku semakin sayang sama kamu mel” kembali dikecupnya keningku “Kedatangan & pehatianmu membuat demamku pergi karena nggak tega ngeliat air mata kamu”, sambil tersenyum kupegang keningnya “Iya tuh sudah mendingan ” Ternyata sudah tidak sepanas tadi yang kurasakan “Tapi obatnya terus diminum sampai habis ya? Aku nggak mau kamu sakit lagi loh ” Rio mencium pipiku, kali ini bibirnya lama menempel dipipiku “Aku sayaang banget sama kamu mel, aku janji deh ngabisin obatnya, karena aku nggak mau liat kamu nangis lagi sayang ”. 



Tanpa kami sadari, bibir kami sudah saling menempel, sangat lembut Rio mencium & mengulum bibirku, lama sangat lama kami berciuman, ciuman yang selama ini belum pernah aku rasakan, ciuman yang penuh rasa sayang & nafsu. Tiba-tiba HPku bunyi, kamipun mengakhiri ciuman itu. HOME terlihat dari layar HPku, “Telp dari rumah yang ” Sejenak kami berpandangan sebelum ahkirnya aku menjawab telp, terdengan suara mamaku “Kamu lagi dimana mel? Ini udah jam 5, Kok kamu belum pulang?” Dengan rasa takut aku menjawab rentetan pertannya mamaku, “Aku masih di RS, ada temenku yang dirawat, bentar lagi juga pulang kok ”. Selesai telp, aku langsung merapikan diri & pamit untuk pulang “Sayang aku pulang dulu ya ?” Rio bersikeras mengantarku pulang, tapi aku menolaknya, akhirnya dia meminta temannya untuk mengantarku pulang. Sekali lagi dia menciumku, tapi kali ini cuma sebentar, karena temannya telah datang. Sabtu pagi keesokan harinya aku kembali bolos sekolah, setelah jajian dengan kedua sahabatku yang juga akan bolos, akupun pergi ke Cilegon. Setibanya disana aku melihat Rio sedang duduk didepan TV, sepertinya dia habis mandi, badannya sudah terlihat segar, tidak seperti Rio yang kemarin aku lihat. Dia hanya menggeleng- menggeleng ketika malihat kami b’3, “Duh, nakal-nakal amat sih ni anak, pasti pada bolos deh!”, kami b’3 hanya senyum- senyum. Kedua sahabatku tidak mampir, mereka langsung pergi meninggalkanku dan berjanji akan menjemputku sore nanti. Seperti sudah lama nggak bertemu, kamipun saling melepas rindu, bermanja-manja aku dipangkuannya, tangannya tak henti-hentinya membelai- belai rambutku yang panjang, sesekali didekapnya aku erat- erat, saling bersuapan saat makan siang, benar-benar saat yang sangat indah, penuh canda & rasa cinta kasih. Seiring bertambahnya waktu, semakin bertambah pula rasa sayang dan cinta ku terhadap Rio-ku. Saat itu, saat yang benar-benar tidak dapat aku lupakan. Disela-sela canda kami, Rio meraih tanganku, tawa kamipun terhenti, mata kami saling berpandangan dekat..dekat..sangat dekat hingga akhirnya mata kamipun terpejam, bibir kami saling beradu, dikecupnya bibirku lembut, dikulumnya perlahan, akupun membalasnya dengan rasa sayang, “Rio aku sangat mencintaimu” hati kecilku berulang-ulang mengatakan kata-kata itu. Direbahkannya tubuhku diatas bantal, kami terus saling berciuman, ciuman yang sangat penuh cinta dan nafsu. Kali ini tidak hanya bibirnya yang aktif, tangannya pun mulai bergerak memasuki daerah telarang. Dirabanya tubuhku dengan pelan, rabaan yang mampu membuat bulu kudukku berdiri dan dapat membangkitkan gairah nafsuku. Dibukanya kancing bajuku satu persatu hingga akhirnya terbuka semuanya.., Kamipun hanyut dalam gairah nafsu yang amat membara. Aku menagis dalam pelukan Rio, tangisan penuh penyesalan. Namun semuanya telah terjadi dan aku rela memberikan segalanya demi orang yang sangat aku cintai, telah ku serahkan kesucianku untuk Rio-ku. Ternyata kejadian itu membuat kami ketagihan, jika ada kesempatan kami selalu melampiaskan hawa nafsu kami. Seperti layaknya suami- istri kami sudah tidak canggung-canggung lagi untuk melakukannya. Juni’98 Hari yang benar-benar membuatku panik. Aku mulai menghitung hari & menunggu-nunggu akan datangnya tamu bulananku yang biasa datang setiap awal bulan, namun sudah 15 hari lewat tamu itu tak kunjung- kunjung tiba. Bel tanda istirahatpun bunyi, dengan panik ku ambil HP dari dalam tasku, ku cari tempat yang sepi & aman agar bisa dengan leluasa berbicara. RIO nama yang aku cari dalam daftar memory phone book, “Sayang aku takut, ini sudah pertengahan, tapi aku belum mens juga” aku benar-benar tak kuasa untuk bicara. Rio menenangkanku, diyakininya aku, sifat yang benar-benar aku suka darinya, dia dapat membuatku aman & tenang. Sepulang sekolah diapun menjemputku, kami pergi kerumah salah satu temanku untuk meminjam baju. Setelah mengenakan baju bebas, kami menuju klinik untuk memastikan “ADA APA DENGANKU ” sebenarnya, tes laboraturiumpun keluar. Bagai disambar petir, tubuhku lemas, nyaris aku terjatuh, Rio dengan sigap mendekapku, dibimbingnya aku kedalam mobil, “Sayang semua ini sudah resiko dari perbuatan kita, kita berdua akan mencari jalan keluar yang terbaik ya sayang ”. Aku hanya terdiam, air mataku terus berjatuhan. “Kita akan menikah sayang ”, spontan aku menoleh kearah Rio, aku menggeleng keras, “Nggak mungkin, aku nggak bisa, aku takut !” Yaa.. kata-kata yang hanya bisaku sesali saat ini. Terlintas dalam benakku saat itu bayangan keluarga dan orang tuaku, sungguh aku panik, fikiranku buntu, aku hanya bisa menangis dalam pelukan kekasih yang amat aku cintai. Untunglah saat itu aku sudah menyelesaikan EBTA/ EBTANAS, hasilpun diumumkan. Rengking 3, suatu kejutan dalam nilai studiku, selama ini aku hanya masuk dalam urutan 10 besar. Gembira dan bahagia yang terlihat dari pancaran wajah kedua orang tuaku, tapi tidak denganku, hatiku sangat hancur, sedih & kecewa. Disaat aku membutuhkan pegangan dan membutuhkan jalan keluar dari masalahku, RIO cintaku datang membuatku tenang “Sayang, coba kamu ikut UMPTN, pilih PTN diluar kota yang agak jauh dari Jakarta. Kita akan menikah disana, kamu bisa melahirkan anak kita & membesarkannya bersama-sama menunggu saat yang tepat untuk memberitahukan semuanya kepada keluarga kita. Bagai mana sayang? Kamu setuju ?” Tanpa fikir panjang, akupun mengiyakannya, karena hanya itulah jalan terbaik untuk keluar dari masalahku. Akhirnya akupun ikut UMPTN, kupilih UGM dan UNDIP. Juli’98. Hari yang sangat aku nanti-nanti, pengumuman UMPTN pun keluar. Lewat surat kabar aku dengan teliti mencari satu persatu nama, tiba-tiba kriing..belum lagi aku selesai, telp dirumahku berdering, kuhentikan pencarianku untuk mengangkat telp, “Selamat ya sayang, kamu diterima tuh di UNDIP” terdengar dari sebrang suara Rio-ku Seakan tak percaya, kubuka lagi koran yang masih ku pegang, baris bawah kolom ketiga “AMELIA ” tertera namaku disana, akupun menarik nafas panjang penuh kelegaan. Aku mulai merapikan pakaian, buku, perlengkapan sehari untuk aku bawa nanti, karena aku akan pindah ke Semarang ya Semarang, kota dimana aku akan melewatkan masa-masa berat disana. Setelah segalanya rapi tersusun, badanku terasa letih, akupun merebahkan badanku diatas tempat tidur, pandanganku lurus kedepan menatap langit-langit kamarku. Aku terkejut, sejenak aku menahan nafas, kurasakan ada sesuatu yang bergerak pelan dari dalam perutku. Kuletakkan telapak tanganku tepat diatas perutku, sesuatu yang kecil yah sangat kecil bergerak berlahan didalamnya, tapi hidup. Kupejamkan mataku, kurasakan, kurasakan dengan mendalam, kutunggu beberapa saat, yaa..aku dapat merasakan kehadirannya. Tanpa terasa air mataku kembali terjatuh “Yaa Tuhan, terima kasih tuhan, 2 kebahagiaan telah kau berikan kepadaku, anakku hidup, dia bergerak, aku dapat merasakannya, terima kasih tuhan ” Mataku terus terpejam, air mataku terus berjatuhan, hatiku tak henti-hentinya berterima kasih kepada tuhan. Agustus ’98. Keluarga dan cintaku Rio mengantar kepindahanku ke Semarang. Karena disana aku tidak punya sanak saudara sama sekali, kedua orang tuaku terlihat sangat berat untuk melepaskanku, tapi aku dapat meyakini mereka. Aku mengontrak sebuah rumah yang sangat kecil dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi dan ruang tamu didaerah simpang lima. 3 hari aku bersama orang tuaku dan kekasih yang amat aku cintai Rio-ku. Minggu pagi dengan berat mereka meninggalkanku, orang-orang yang amat berarti dalam hiduku harus kembali ke Jakarta. Kutahan air mataku agar tidak menetes keluas, kuyakini kepada mereka kalau aku mampu dan bisa mandiri. Setelah mobil yang dikendarai mereka benar-benar hilang dari pandanganku, bergegas aku masuk kedalam rumah, kukunci pintu, kakiku tak sanggup berjalan lagi, aku teduduk lemas dibalik pintu, air mata yang sedariku tahan tidak dapat kubendung lagi, menangis ya hanya menangis yang dapat aku lakukan..setelah kesedihanku terluapkan, hati dan fikiranku mulai tenang. Senin, hari pertamaku sendiri dikota Semarang. Sebelum aku kekampus kuawali lembaran baru dalam hidupku dengan bangun pagi dan menyempatkan diri untuk jalan pagi menghirup udara segar disekitar rumahku yang katanya sih jalan pagi itu bagus buat orang yang sedang hamil. Hari demi hari telah berlalu, tidak terasa 2 minggu telah berlalu. Tidak ada waktu untuk aku bergaul dan bermain dengan teman-teman kampus. Aku memilih untuk menyendiri, memikirkan rencana yang akan aku jalani dikemudian hari. Hari-hari aku habiskan dirumah, menulis surat, membaca buku tentang kehamilan, 2x sehari aku minum susu dan vitamin untuk ibu hamil, aku sangat menjaga kehamilanku. Setiap 3 kali seminggu aku menerima surat dari kekasihku, walaupun setiap hari kami saling telpon tapi kami tetap berkomunikasi lewat surat. Setiap kali aku menerima suratnya, selalu aku membacanya berulang-ulang, kata-katanya begitu indah, penuh dengan perhatian dan cinta kasih. Jum’at ke-3 bulan agustus, Rio berencana untuk datang, hari yang sangat aku nantikan. Sepulang kuliah aku langsung kembali kerumah, kulihat mobil Rio sudah parkir tepat didepan rumah kontrakanku. Bergegas aku berlari masuk kedalam rumah, aku terhenti didepan pintu, Rio-ku..dia menatapku dan menghampiriku. Kami saling berpelukan, pelukan yang sangat erat, diciumnya kening dan pipiku. Seakan tak mau dipisahkan, kami berpelukan lama..lama sekali, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Kupandangi wajah orang yang sangat aku cintai ‘Rio-ku ”, dia meneteskan air mata “Sayang..aku sayang kamu mel, sayang banget, maafin aku ya sayang ” Kalimat pertama yang terucap dari mulut cintaku, begitu pelan dan terputus-putus. Kulihat air matanya terus menetes. Setelah puas melepas rindu, kamipun duduk. Tangan rio mengusap-usap perutku yang mulai kelihatan membesar, kehamilanku telah memasuki bulan ke-4. Dirasakannya gerakan halus dari dalam perutku, sesekali matanya menatapku, tangannya membelai rambutku, kembali diciumnya pipiku berulang-ulang. Disingkapnya kemeja yang menutupi perutku, diciumnya perutku dengan lembut, lama..sangat lama dia menempelkan bibirnya diatas perutku, matanya terpejam, air matanya menetes deras membasahi perutku. Minggu 24 Agustus 1998, Hari yang sangat berarti dalam hidupku, kami MENIKAH. Tidak ada orang yang menyaksikan, tidak ada resepsi, tidak ada tamu, keluarga, saudara, teman yang yang hadir, hanya aku, Rio dan penghulu. Rio memberiku cincin 10 gr dan seperangkat alat sholat. Kami hanya melakukan ijab qabul dan kamipun resmi menjadi suami istri. Hari2ku bersama suami tercinta begitu sangat indah saat itu, ia membuatku sangat bahagia. Setiap hari ia menjemputku kekampus, pergi membeli perlengkapan bayi, periksa kehamilan ke RS, dia menemaniku dengan penuh cinta kasih dan kesabaran yang mendalam. Tidak terasa 10 hari aku bersamanya, diapun harus kembali ke Jakarta. Kembali kami dipisahkan, sangat berat rasanya bagi kami untuk berpisah tapi keadaan saat itu yang mengharuskan kami untuk saling berjauhan. Rio- ku berjanji untuk selalu mengunjungiku setiap bulan untuk menengok keadaanku dan menemaniku ke RS untuk memeriksa kehamilan. Walaupun sangat berat, aku harus melepaskan kepulangan Rio-ku. Kembali aku sendiri. Kujalani aktifitasku seperti biasa. Semakin hari perutku semakin membesar yang membuatku membatasi kegiatanku karena aku merasa cepat lelah. November ’98 kehamilanku memasuki bulan ke7. Bulan yang sangat berat buatku. Kembali aku dihadapkan dengan satu masalah yang sangat sulit aku pecahkan & sangat sulit dicari jalan keluarnya. Aku dihadapkan dengan jatuhnya liburan kuliah yang bertepatan dengan akan menikahnya kakakku. Tidak ada alasanku untuk tidak pulang ke Jakarta. Sedangkan kondisiku dengan perut yang sudah besar tidak memungkinkan untuk menemui orang tua dan keluargaku. Rio kembali ia membuatku tenang, dia datang untuk membuatku tenang, tegar dan tabah. Dengan menggunakan pesawat, akhirnya aku kembali ke Jakarta. Kami langsung menuju Cilegon. Dengan keadaan yang sangat membuatku resah, kami berdua berusaha mencari jalan pemecahannya. 30 November 98. Kembali aku harus berkorban demi cinta. Bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke-20, dan kehamilanku yang ke7 bulan, disalah satu RS di Jakarta aku menjalani oprasi Ceasar. Buah cintakupun lahir, dengan berat 2.95 panjang 48, PEREMPUAN. 6 hari aku dirawat dan akhirnya diperbolehkan pulang. Aku, Rio dan buah cinta kami tinggal bersama di Cilegon. Tanpa sanak saudara dan keluarga yang mengetahuinya. Hari-hari kami kewati bersama, penuh dengan kebahagiaan. Terpancar dari wajah suami yang sangat aku cintai sinar kebahagiaan yang begitu besar. “ANDALUSIA ” ya itulah nama indah yang diberikan Rio buat buah cinta kami, nama yang begitu indah dan penuh pengharapan. Desember’98. Kakakku menikah, aku dan Rio kembali ke Jakarta untuk menghadiri resepsi. Anak kami tinggal bersama pengasuhnya. Ketika aku menemui orang tuaku, aku dan Rio berakting seakan- akan baru datang dari Semarang dan akting kami pun berhasil. Dengan berbagai alasan, ku curi-curi waktu untuk dapat mengunjungi dan melihat anakku. Walau tidak lama aku dapat melihatnya tapi buatku itu sudah lebih daripada cukup. Saat hari raya tiba, aku dan Rio seperti main kucing-kucingan dari kelurga kami, kami saling bergantian menjaga Cia (nama panggilan anak kami). Januari 1999. Hari raya telah lewat dan libur kuliahkupun telah usai, saatnya aku harus kembali ke Semarang untuk melanjutkan study ku. Kembali kami dihadapkan dengan satu permasalahan baru, “Siapa yang akan mengurus anak kami ?” pertanyaan yang harus mendapat jawaban sesegera mungkin. Ku putuskan untuk membawa anakku ke Semarang, “Tapi bagaimana jika tiba-tiba orang tuaku datang?” mau kutitip dimana anakku nanti. Belum lagi kami mendapat jawaban, datang permasalahan baru, suamiku tercinta harus segera berangkat ke Jepang untuk urusan kantornya. Panik sungguh panik kami saat itu. Aku putuskan untuk mengalah, sekali lagi aku harus berkorban, STUDY ku harus kukorbankan kali ini. Dengan alasan kembali ke Semarang, aku pamit kepada kedua orang tuaku. Aku kembali ke Cilegon untuk mengurus anakku selama kepergian Rio. 3 bulan Rio ditugaskan, berarti 3 bulan aku meninggalkan kuliahku, 3 bulan aku dan anakku ditinggalkan, tapi aku rela menjalaninya demi cintaku yang teamat dalam kepada Rio. Dengan penuh cinta kasih aku merawat buah hatihu sendiri. Rio selalu memantau kami dari jauh lewat telp. Dalam sehari Rio sangat sering menelpon walaupun tidak pernah lama, itu karena kesibukaanya yang sangat padat, namun buatku perhatian yang diberikannya itu sudah lebih dari pada cukup. Waktu yang kunanti-nanti akhirnya tiba. Cintaku Rio akhirnya kembali, kebahagiaanku ahkirnya kembali dengan kembalinya suami tercinta ditengah- tengah kami. Ntah kenapa aku tidak kuasa untuk kembali ke Semarang, aku tidak kuasa meninggalkan suami dan anakku yang amat aku cintai. Tidak terasa hampir 4 bulan aku meninggalkan kuliahku. Belum lagi sebulan Rio kembali, belum lagi sebulan kami bersama, kembali aku dikejutkan oleh kabar yang sangat tidak dapat aku terima. Rio suamiku yang sangat aku cintai dan kasihi harus kembali ke negeri sakura, dia dimutasi dan akan melanjutkan S3nya disana. Sungguh aku tak sanggup dan tak kuasa menerima keputusan itu, aku sungguh tidak percaya.. “Sayang, aku sungguh mencintaimu mel, aku nggak bisa meninggalkan kamu dan anak kita disini. Kalian harus ikut bersamaku. Aku akan membuka semua rahasia ini kekeluargamu dan keluargaku, kita akan menikah kembali secara resmi, kita hadapi segala resikonya bersama ya sayang ?” dipeluknya aku dengan kasih, aku hanya terdiam dan menangis dipelukannya. Kembali terulang lagi, situasi yang sangat sulit yang pernah aku alami sebelumnya. Bagai dipersimpangan jalan yang amat sulit kupilih, orang tua & study ku atau suami & anakku. Kali ini aku mengambil keputusan yang salah, yang sangat fatal dalam perjalanan cintaku, yang hanya bisaku sesali saat ini dan mungkin akan kusesali seumur hidupku. Aku bersikeras menyelesaikan kuliahku, baru aku akan membuka rahasia ini kepada orang tuaku, aku sungguh tidak ingin mengecewa mereka. Rio berusaha meyakiniku, tapi kali ini dia tidak dapat meyakiniku, karena aku menganggap keputusan yang kuambil adalah yang terbaik. Rio hanya terdiam, terlihat kekecewaan yang amat mendalam dari pancaran wajahnya. Mei 99. Aku putuskan untuk pergi ke Semarang. Bersama suami tercinta, aku kembali untuk melanjutkan kuliahku. Sepanjang perjalan Rio berulang-ulang meyakiniku “Kamu benar-benar yakin atas keputusanmu sayang ?” aku hanya mengangguk setiap ia bertannya. Semalam ia menemaniku dan ia pun kembali ke Cilegon. Pikiranku kembali buntu, hari- hariku hampa, aku tidak dapat konsentrasi, yang ada hanya bayangan suami dan anakku. Setiap hari aku hanya dapat menangis dan menangis. Hanya seminggu aku bertahan sendiri, ku telp orang tuaku untuk meminta izin kembali keJakarta. Dengan alasan tidak bisa pisah dan tidak sanggup sendiri. Walaupun dengan rasa kecewa, akhirnya orang tuaku mengizinkan aku untuk kembali. Orang tuaku memaklumi ketidak betahanku diSemarang, karena sebelumya memang aku tidak pernah hidup pisah, selain itu aku adalah anak bungsu dari 5 bersaudara dan aku anak perempuan satu- satunya. Pertengahan Mei 99. 2 belahan hatiku Rio dan anakku terbang ke Jepang. Kuantar kepergiannya dengan air mata, air mata yang terasa sangat perih dan pedih. Rio, sekali lagi dia memintaku untuk ikut bersama, tapi sungguh bodoh aku saat itu karena aku menolaknya, “Rio aku sangat mencintaimu, sungguh aku nggak mau kehilanganmu, aku nggak mau jauh dari kamu, tapi aku nggak bisa apa-apa. Biar aku selesaiin kuliahku dulu ya? Aku nggak mau gagal lagi, aku nggak mau ngecewain orang tuaku untuk kedua kalinya. Setelah selesai aku akan nyusul kamu dan cia, mudah-mudahan sebelum kuliahku selesai kalian udah kembali kesini dan kita bisa kumpul lagi” Air mataku terus mengalir, Rio hanya terdiam. Kudekap Cia erat, kuciumi dia, air mataku semakin deras mengalir. Siapa sangka itu adalah hari terakhirku meliahat dan mencium buah hati yang sangat berarti dalam hidupku. Setelah kepergiannya, hari-hariku kembali hampa dan kosong seperti kehilangan pegangan hidup. Setiap hari air mataku berjatuhan, aku hanya bisa memandangi foto kedua belahan hatiku. Juni’99 Aku didaftarkan disalah satu Akademi Sekertaris di Jakarta, setelah melalui beberapa tes, akhirnya aku diterima. Ku mulai lembaran baru dalam perjalanan studyku. Kali ini aku berjanji pada diriku sendiri, aku harus menyelesaikan kuliahku dengan sungguh-sunguh, aku nggak mau gagal untuk kedua kalinya. Hari-hariku mulai sibuk dengan jadwal kuliah yang sangat padat. Senin-sabtu aku kuliah dari pagi hingga malam baru sampai dirumah (maklum jarak antara rumah dan kampus terbilang jauh, selatan ke timur). Tidak terasa kesibukanku membuat hubunganku dengan Rio semakin merenggang, walaupun tidak terputus. Kami masih berkomunikasi lewat telp, surat dan internet. Semakin hari waktu kami untuk berkomunikasi semakin singkat. Dengan didasari rasa cintaku yang mendalam dan keinginan untuk menyelesaikan kuliahku dengan baik, aku pun benar-benar dalam belajar. Tidak terasa 3 tahun telah berlalu. Jum’at 26 Juli 2002. Hari terakhirku UAS, ketika akan keluar dari kelas, HPku bunyi ‘RIO’menelpon ku, bergegas kuangkat, “Sayang, aku tunggu digerbang kampus kamu ya ?” Seakan nggak percaya, aku mengok keluar..RIO-ku dia berdiri tepat didepan gerbang kampus, bergegas aku berlari menghampirinya. Dia tersenyum melihatku. Nggak perduli banyak orang yang melihat, langsung ku peluk dia, kembali dibelainya rambutku (kali ini Rio hanya bisa membelai rambutku yang pendek. Mungkin karena stres rambutku rontok dan terpaksa aku memotongnya) belaian yang lama tidak aku rasakan, belaian yang penuh kasih sayang. Dirangkulnya aku menuju mobil. Sungguh suasana yang tidak pernah aku duga sebelumnya, suasana yang tegang, kaku, dingin dan penuh tanda tanya. Tidak banyak kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Bagaimana ujiannya sayang ?” dengan tersenyum aku menjawab “lumayan, mudah2an hasilnya bagus, doain ya ”. Dia hanya menganggukan kepala, pandangannya lurus kedepan. “Kapan kamu dateng?”tanyaku, “3 hari yang lalu” jawaban yang sangat singkat, “Kok nggak ngabarin aku sih?” Rio tidak langsung menjawab “Aku nggak mau ngeganggu konsentrasi kamu”dijawabnya tanpa menoleh kearahku. “Cia mana? Kamu bawakan dia? Duh aku kangen banget nih. Udah 3 thn aku nggak ketemu, gimana ya reaksinya kalau ketemu mamanya ?” Rio terdiam, dia sama sekali tidak menjawabku. Kutatap wajahnya dalam- dalam, dia berusaha menahan air mata yang akan keluar, semakin aku penasaran, jantungku mulai berdetak kencang “Sayang, Cia nggak apa- apakan?” Rio menggelengkan kepalanya pelan, “Jawab dong Rio, ada apa ?”, “Dia baik-baik aja, dia ada diJepang”pelan Rio menjawab, aku semakin panik dibuatnya “Sama siapa dia disana? Kenapa kamu tinggal?”kugoyang-goyang badannya, “nanti aku jelasin ya” kembali Rio terdian dan terus menatap kedepan. Senja telah tiba & langitpun mulai terlihat gelap. Diparkirnya mobil tepat dipinggir pantai. Sepi, suasana sangat sepi saat itu, tidak banyak orang yang terlihat. Aku dan Rio tidak beranjak dari dalam mobil, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Rio mulai membalikkan badannya kearahku, matanya menatapku tajam, tatapan yang membuat aku jadi binggung. tiba-tiba diraihnya tubuhku, didekapnya aku erat, sangat erat “Mel, aku sayang kamu mel, sungguh aku mencintai kamu, maafin aku sayang. Aku sudah membuat hidup kamu susah, aku manusia yang sungguh tidak tau diri, tidak tau berterima kasih ”. Semakin binggung aku dibuatnya “ada apa Rio? Tolong dijelasin, aku nggak ngerti”. Rio tidak menjawab, air mata yang sedari tadi ditahannya tumpah diatas bahuku, terasa membasahi baju yang aku kenakan, dia menagis terisak2, “Mel sungguh aku sayang kamu Mel, aku nggak mau kehilangan kamu, kenapa semua ini harus terjadi Mel? Maafin aku please ” Dekapannya semakin erat, hampir tidak bisa bernafas aku dibuatnya. Lebih dari setengah jam Rio menangis sambil mendekapku. Berlahan ku lepaskan dekapannya, matanya yang masih berlinang air mata menatapku tajam “Aku sudah nikah Mel ” Bagai disambar petir, bagai tertimpa batu godam, hatiku bagai tertusuk duri yang teramat tajam, darah ditubuhku berhenti mengalir, mulutku kaku tidak dapat berkata, tubuhku lemas seketika, aku tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja aku dengar, “Maafin aku sayang ” diraihnya tanganku, “Gimana dengan anak aku Rio?” air mataku tidak henti2nya berjatuhan. Rio mulai menceritakannya dari awal hingga akhir, matanya tidak berani menatapku. Ternyata dia menikah dengan wanita Jepang, teman kuliahnya sewaktu dia mengambil S2 dulu, mereka bertemu kembali dan wanita itu yang mengurus segala kebutuhan anakku, mandi, makan, tidur, bermain dan yang mengurus saat anakku sakit, semua..semuanya dia yang mengurus, hingga akhirnya kira-kira dua thn yang lalu mereka putuskan untuk menikah. Dari hasil pernikahannya mereka belum memiliki anak. Aku tak kuasa mendengar cerita itu, walau beribu pertanyaan yang bersarang dibenakku tentang wanita itu, tapi tidak satupun yang dapat aku lontarkan, karena aku yakin hanya akan menambah luka dihatiku. Rio berusaha meyakiniku kalau anakku baik-baik saja disana. Dikeluarkannya dompet dari saku belakang celananya, diambilnya sebuah foto dan diberikan kepadaku. Air mataku semakin deras mengalir, terasa sangat panas, kulihat anakku sedang tersenyum, dia menggunakan gaun putih panjang, rambutnya lurus sebahu ..sungguh manis dia, anakku sudah terlihat besar, “Dia mirip kamu sayang, mirip banget” aku sama sekali tidak menghiraukan perkataannya, aku terus menangis memandangi foto anakku. “Kalo kamu sayang dia, biarkan dia bahagia dengan orang yang selama ini dianggap sebagai mamanya, karena dia akan sakit kalau dipisahkan, mereka sudah menyatu Mel ”, Spontan kutatap matanya ” kamu jahat Rio, kamu tega ” Kembali diraihnya tubuhku, dipeluknya aku “Suatu saat kamu akan mengerti Mel, disaat yang tepat kamu pasti akan melihat anak kita. Nanti kamu akan menyadari bahwa bukan aku yang memisahkan kalian, tapi keadaan”. Kupejamkan mataku, kusadari kebodohanku, aku sadar disaat segalanya telah terlambat. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mendengar kabar Rio dan anakku, Rio benar-benar menghilangkan jejaknya, seakan ditelan bumi, dia benar-benar menghilang dariku, hilang bersama dengan anakku, darah dagingku. Kebencian..kadang aku merasa benci jika mengingat kekasih yang amat aku cintai telah menghianati cinta suci, tapi rasa benciku tidak sebanding dengan rasa cintaku yang teramat mendalam, yaah..itulah KEKUATAN CINTA, kekuatan yang dapat mengalahkan segala-galanya. Pertahankanlah cinta yang telah kamu miliki, karena sekali salah dalam mengambil keputusan, cinta itu akan pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali lagi. Penyesalan ya hanya penyesalan yang akan datang, seperti yang aku alami saat ini dan mungkin seumur hidupku akan aku rasakan. Memberikan seluruh cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu janganlah mengharapkan balasan cinta tapi tunggulah sampai cinta berkembang dihatinya tetapi jika tidak berbahagialah karena cinta tumbuh dihatimu berbanggalah karena dicintai tapi berbahagialah bisa mencintai. Butuh waktu singkat untuk menyukai seseorang, tapi butuh waktu seumur hidup untuk melupakan orang yang benar-benar kita cintai. Sebab itu, jangan pernah memulai belajar melupakan tapi mulailah belajar mempertahankan.. Rio cintaku, dimanapun kamu saat ini, seberapun kecewanya aku, aku akan tetap mencintaimu. Maafkan segala kesalahanku, aku begitu egois, kesalahan ku sangat fatal, tapi bukan bearti aku tidak mencintaimu. Telah ku lakukan segalanya demi cintaku padamu, CIA adalah buah dari cinta kita. Saat-saat bersamamu dan buah cinta kita, adalah saat dimana aku begitu merasakan kebahagian yang begitu besar, tapi kenapa kamu begitu teganya memisahkan aku Rio? Aku hanya mengharapkan keajaiban, keajaiban yang dapat mengembalikan orang yang sangat aku cintai, kasihi & sayangi, akankah ia datang untuk kedua kalinya pada ku?




Sabtu, 23 April 2016

Kupuaskan Nafsu Janda Itu Sampai Dia Orgasme Berkali-Kali



Tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku kalau akhirnya aku harus menjadi seorang duda. Bagiku kehidupan perkawinan yang kulalui selama ini didasarkan atas rasa cinta. Aku mencintai istriku, begitu pula ia juga mencintaiku. Tapi ternyata cinta saja tak cukup untuk membina sebuah rumah tangga yang bahagia. Menginjak tahun ketiga usia perkawinanku, keutuhan rumah tanggaku mulai goyah. Apalagi sejak kelahiran anak kami yang kedua yang hanya berselang setahun dengan anak kami yang pertama. Aku memang sepakat dengan istriku untuk berproduksi secepatnya dan akan sedikit repot di awal-awal tahun perkawinan untuk membesarkan anak-anak dan setelah itu kami baru akan konsentrasi untuk karir, cari uang dan tujuan hidup yang lainnya. Namun rupanya rencana tak berjalan seperti yang kami harapkan. Istriku terpaksa harus keluar dari kantornya yang bangkrut akibat krismon. Padahal kelahiran anak keduaku bagaimanapun cukup menambah pengeluaran kami. Sehingga aku terpaksa bekerja lebih keras, meskipun saat itu aku sudah menjadi wakil manajer di perusahaanku. Aku mulai kembali mengajar di beberapa perguruan dan akademi swasta, seperti yang pernah kulakukan pada saat belum berkeluarga dulu. Di sinilah masalah keluarga mulai muncul. Beberapa bulan menganggur, istriku mulai uring-uringan dan kelihatan tertekan. Sementara aku harus sering pulang larut malam, karena aku tidak hanya sibuk mengajar, tetapi juga mulai aktif dipanggil sebagai pembicara di beberapa pertemuan-pertemuan bisnis. Kondisi seperti itu berlangsung hampir satu tahun. Entah sudah berapa puluh kali aku bertengkar dengan istriku. Dari masalah yang sepele hingga masalah yang berkaitan dengan urusan ranjang. Istriku kurasakan mulai dingin dan tak jarang menolak bila kuajak berhubungan intim. Sikapnya juga mulai aneh. Beberapa kali aku menemui rumah dalam keadaan kosong karena istriku pergi dan menginap di rumah orang tuanya bersama anak-anakku. Kadang ia berada di sana selama satu minggu, meskipun aku sudah menyusulnya dan mengajaknya untuk pulang. Singkat cerita, setelah kurang lebih satu setengah tahun kondisi seperti itu berlangsung terus menerus, istriku akhirnya meminta cerai. Aku kaget dan tak pernah menduga ia akan melakukan itu padaku. Sulit bagiku untuk membujuk dan mengajaknya bicara secara baik-baik. Bahkan kedua orang tua kami sampai ikut campur mendamaikan. Akhirnya dengan berat hati aku harus berpisah dengan istri dan kedua anakku. Pupuslah sudah angan-anganku membentuk Keluarga yang Bahagia. Ada tiga bulan aku seperti orang linglung menghadapi cobaan itu. Aku stres berat. Bahkan sempat hampir masuk rumah sakit. Aku mendapatkan hak untuk menempati rumah kami. Tapi anak-anak ikut istriku yang kini tinggal dengan orang tuanya. Sesekali aku menemui mereka, karena anak-anakku masih kecil dan tetap perlu figur seorang ayah. Kurang lebih setahun setelah perceraianku, aku mulai menjalin hubungan lagi dengan seorang wanita. Maryati namanya, seorang janda tanpa anak. Perkenalan kami terjadi sewaktu aku terlibat dalam sebuah kepanitiaan temu bisnis yang diadakan sebuah perusahaan terkemuka di ibu kota. Pertemuan demi pertemuan dan pembicaraan-pembicaraan di telepon akhirnya berkembang menjadi acara kencan bagi kami berdua. Rasa kesepian yang selama ini kualami seperti mendapat obatnya. Maryati memang seorang yang wanita yang menarik dan menyenangkan bagi siapa pun laki-laki yang mengenal dia. Entah kenapa ia memilihku. Mungkin kami sama-sama berstatus cerai. Tapi ternyata ia punya alasan lain. Menurutnya ia menyukaiku karena aku orangnya kalem tapi terlihat matang, dan menurutnya lagi, wajahku ganteng dan ia suka dengan laki-laki yang berkumis sepertiku. Komentar yang terakhir itu hampir sama dengan yang pernah disampaikan oleh mantan istriku waktu kami pacaran dulu. Sebagai laki-laki normal, terus terang di samping tertarik pada personalitasnya, aku juga tertarik secara seksual dengan Dik Mar (demikian aku biasa memanggil Maryati, sementara ia biasa memanggilku Mas Is, kependekan dari namaku, Iskandar). Selama menduda, kehidupan seksualku memang cukup menjadi suatu masalah bagiku. Karena aku bukan tipe yang bisa main dengan sembarang orang, karena aku takut dengan berbagai risiko yang nanti bisa menimpaku. Meskipun kuakui sekali dua kali aku terpaksa melacur. Tapi jarang sekali aku melakukannya dan bisa dihitung dengan jari. Itu pun kulakukan dengan penuh perhitungan dan hati-hati. Terus terang selama ini aku lebih banyak menyalurkan hasrat seksualku dengan cara onani sambil lihat BF atau majalah porno yang kumiliki. Maka ketika aku mengenal Maryati, dan semakin mengenalnya lebih jauh lagi, serta merasa yakin dengan siapa aku menjalin hubungan, aku tak sungkan-sungkan lagi menyatakan kesukaanku padanya. Statusnya yang janda secara psikologis membuatku lebih berani untuk berbicara dan bersikap lebih terbuka dalam beberapa hal yang sensitif, termasuk masalah seks. Dan seperti sudah kuduga semula, Maryati meresponku dengan baik. Kami pertama kali melakukan hubungan intim di sebuah hotel di daerah Puncak. Aku yang mengajaknya.

UNTUK MEMBACA INFORMASI TERKINI SILAHKAN KUNJUNGI buntala.com

 Meskipun semula ia menolak ajakanku dengan halus, tapi akhirnya aku berhasil mengajaknya bermalam di Puncak. Pagi itu kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 9 pagi. Selama perjalanan kami mengobrol dan bercanda tentang berbagai hal, bahkan kadang-kadang menyerempet ke masalah-masalah yang intim, karena kami sadar bahwa kepergian kami ke Puncak memang untuk itu. Begitu tiba di dalam kamar hotel, tubuh Maryati langsung kudekap dan kuciumi ia dengan mesra. Ia membalasku dengan ciuman yang tak kalah hangatnya. Cukup lama kami berciuman dalam posisi berdiri. Senjataku pun sudah lama berdiri sejak mulai masuk lobby hotel tadi, karena terus membayangkan kejadian yang bakal terjadi. Dadaku terasa berdegup keras sekali. Kurasakan pula debaran jantung Maryati pada tanganku yang merayap-rayap di sekitar dadanya. Memang baru pertama kali inilah kami berbuat agak jauh. Bahkan bisa dipastikan kami akan lebih jauh lagi. Selama ini kami hanya sebatas berciuman. Itupun baru kami lakukan sebanyak dua kali dan dalam suasana yang tidak mendukung. Yang pertama terjadi di gedung bioskop dan yang kedua waktu aku mampir ke kantornya dan sempat masuk ke ruang kerjanya. Sehingga pada kedua kesempatan itu kami tak leluasa untuk saling menjamah. Tapi kali ini, kami bisa saling menyentuh, meremas dan melakukan apa saja dengan bebasnya. Tanganku berulang-ulang meremas gemas bongkahan pantatnya, karena bagian tubuhnya itulah yang selama ini paling kusukai tapi paling sulit kujamah. Sedangkan ia asyik menelusuri dadaku dan mengusap-usap bulu yang tumbuh lebat di sana. Barangkali bagian tubuhku itulah yang selama ini disukainya tapi sulit disentuhnya. Dia memang pernah mengomentari tentang bulu dadaku yang memang bisa terlihat jelas bila aku memakai kemeja biasa. Siang itu kami akhirnya melakukan sesuatu yang sudah lama kami pendam. Terus terang kami melakukannya dengan terburu-buru dan cepat. Bahkan pakaian tak sempat kami buka semua.



 Maryati masih mengenakan rok dan blusnya. Hanya saja blusnya sudah terbuka, demikian pula dengan BH-nya, sudah terkuak dan menonjolkan isinya yang bulat padat itu. Sementara rok hitamnya sudah kutarik ke atas pinggangnya dan celana dalamnya sudah kulepas sejak dari tadi. Aku sendiri masih berpakaian lengkap, hanya beberapa kancing bajuku sudah terlepas bahkan ada yang copot direnggut oleh tangan Maryati. Sedangkan celana jeans dan celana dalamku tak sempat lagi kulepas, hanya ikat pinggang dan ritsluitingnya saja yang kubuka. Sehingga batang kemaluanku bisa langsung kujulurkan begitu saja dari celana dalamku yang juga tak sempat kulepas. Segera Maryati kutelentangkan di atas ranjang dan aku langsung melakukan penetrasi. Tanpa ba bi Bu lagi aku segera tancap gas. Menusuk sedalam-dalamnya dan mulai menggenjotnya. Kami berdua seperti balas dendam. Segera ingin mencapai puncak. Suara erangan dan lenguhan terdengar bersahutan dengan nafas kami yang saling memburu. Kami benar-benar bermain agak liar. Mungkin karena sudah lama saling memendam birahi. Sehingga saat itu kami lebih tepat disebut sedang bermain seks daripada bermain cinta. Akhirnya permainan kami selesaikan dengan cepat. Kami tak sempat melakukan variasi atau posisi gaya yang macam-macam. Cukup gaya konvensional saja. Yang penting kami berdua bisa mencapai puncak kenikmatan. Maka begitu Maryati sudah mendapat orgasmenya, aku langsung menggenjotnya dengan semangat dan tak lama kemudian aku pun mengerang seiring dengan muncratnya cairan kenikmatan dari batang kemaluanku dalam tubuhnya, berkali-kali. Aku lalu merebahkan badanku memeluk tubuh Maryati dengan nafas tersengal-sengal. Ia membalasku dengan mengusap-usap rambutku dan menciumi kepalaku. Kami lalu berciuman dengan lumatnya. “Aku mandi dulu ya Mas..” tiba-tiba Maryati melepas pagutannya dan beranjak dari posisi telentangnya. Sebenarnya aku masih ingin berdekapan. Tapi segera kuikuti langkahnya menuju kamar mandi. Kulihat ia mulai melepas sisa pakaiannya. Aku memandangnya sambil bersandar pada pintu kamar mandi. Bibirnya terus tersenyum membalas pandanganku yang terus lekat selama ia melepas pakaiannya satu persatu. Sementara aku melongo menyaksikan striptease gratis di depanku. Sampai akhirnya ia benar-benar bertelanjang bulat. Baru kali ini aku melihat tubuhnya dalam keadaan benar-benar polos. Selama ini aku hanya bisa membayangkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. Kini aku bisa melihat semuanya. Terpampang jelas. “Mau gabung?” katanya menggoda. Dan aku memang tergoda.

UNTUK MEMBACA INFORMASI TERKINI SILAHKAN KUNJUNGI buntala.com

 Langsung kucopot pakaianku yang sebagian besar sudah setengah terbuka lalu sengaja kusisakan celana dalam saja. Aku langsung menuju ke arahnya. Lalu kembali kami berciuman. Tangannya langsung meremas-remas milikku yang sudah agak lemas dan masih terbungkus celana dalam itu. Sementara aku pun sibuk memainkan puting susunya dengan jari-jariku. Permainan seperti ini sebenarnya pernah kami lakukan. Hanya bedanya kali ini kami melakukannya dalam keadaan tubuh telanjang. “Mas..” bisiknya di sela-sela acara saling memagut dan meremas. “Ya, sayang?” balasku. “Sudah kuduga, punya Mas Iskandar pasti gede.” “O ya?” “Ya”, sambil tangannya meremas kuat milikku. Aku mengerang tertahan, enak. “Aku juga sudah menduga..” kataku sambil mengarahkan jariku ke sela-sela pahanya. “Apa?” tanyanya. “Punya Dik Mar pasti legit..” “Kayak apa sih yang dibilang legit itu?” “Ya kayak tadi”, jawabku sambil menusukkan jari tengahku ke celah bibir kemaluannya. Terasa agak seret tapi lentur dan sedikit lengket. Itulah legit. Aku mulai terangsang. Milikku pelan-pelan mengembang dan mengeras. “Masshh..” ia mulai merintih ketika sambil tanganku bermain di bawah sana, mulutku juga mulai merambah telinga, leher dan berhenti di ujung buah dadanya yang telah mengeras. Jilatan dan isapan mulutku makin membuatnya merintih-rintih kenikmatan. Sementara tangannya kini sudah menelusup masuk ke celana dalamku dan meremas-remas isinya dengan gemas. Membuatku makin tegang dan ingin segera menyetubuhinya lagi. “Mau lagi?” tanyaku agak berbisik. Ia mengangguk. “Sekarang?” tanyaku lagi. Dan ia mengangguk lagi. Akhirnya kami melakukannya lagi di dalam kamar mandi. Bahkan kami tak sempat mandi lebih dahulu sesuai rencana semula. Tapi kali ini kami ingin bermain cinta, tidak semata-mata main seks seperti tadi. Semua berawal ketika ia melepaskan celana dalamku dan lalu memintaku untuk segera menusuknya. Segera kuangkat dan kududukkan tubuhnya di atas meja wastafel. Lalu dalam posisi berdiri aku langsung menghujamkan kejantananku ke sela-sela pahanya yang segera dibukanya lebar-lebar. Kami berdua kembali bernafsu. Bibir kami saling melumat dan tangannya langsung merangkulku erat-erat. Sementara pinggulku spontan menyentak-nyentak, mengayun dan menghujam dengan liarnya. Gerakan yang sudah lama tak kulakukan. Kurasakan Maryati pun sepertinya sudah lama tak menikmati permainan cinta seperti ini. Kedua kakinya melilit pinggangku dengan ketatnya. Kedua tangannya terus mencakar punggungku bila dirasakannya aku menusuknya terlalu dalam. Kudengar mulutnya mendesis dan melenguh bergantian. Aku sendiri hanya bisa mendengus dan menahan agar tak keluar terlalu cepat. “Mass Iss.. Mass Isshh..” ia mulai memangil-manggil namaku. Sepertinya ia sudah mau orgasme. Maka aku terus mempergencar gerakanku. Kurengkuh kedua pantatnya dan kutekan ke depan sehingga membuat batang kemaluanku makin melesak dalam liang surganya. Berkali-kali kulakukan gerakan itu sehingga makin membuatnya meneriakkan namaku berulang-ulang. Akhirnya kurasakan badannya menggigil hebat dan mulutnya merintih panjang. Orgasmenya datang. Cukup cepat menurutku, seperti waktu kami main di ranjang tadi. Ia ternyata memang cepat panas. Sejenak aku menghentikan gerakanku. Kubiarkan Maryati menikmati sendiri puncak birahinya. Aku mencoba membantu menambah kenikmatannya dengan cara menjepitkan jempol dan telunjukku pada kedua puting susunya dan melintirnya pelan-pelan. Bola matanya sayu menggantung, meresapi rasa nikmat yang tengah melanda sekujur tubuhnya. Tangannya mencengkeram erat bahu dan punggungku. Sementara kakinya makin kuat menjepit, sebelum akhirnya pelan-pelan mengendor. Nafasnya kini mulai satu-satu. “Enak Dik?” tanyaku nakal. “Enak.. Mas.. enak sekali..” jawabnya masih dengan nafas satu-satu. “Mas Iskandar belum keluar?” lanjutnya sambil matanya melihat sebagian batang kemaluanku yang masih tertancap di jepitan pahanya. “Belum dong. Ini kan ronde kedua”, kataku sambil tersenyum. Sebenarnya aku tadi juga hampir muncrat. Meskipun ronde kedua, tapi aku agak tak kuat juga menahan laju birahiku yang sudah lama tak tersalurkan. Tapi untuk permainan kali ini aku berusaha menahan sekuatnya. Karena ini benar-benar pengalaman pertamaku bermain cinta dengannya, harus sip. Pelan-pelan pinggulku mulai kugoyang lagi. Kutatap matanya lekat-lekat sambil terus kugerakkan pinggul dan pantatku maju mundur. Ia kembali tersenyum merasakan gerakanku yang sengaja kubuat pelan tapi mantap. Diaturnya posisinya sehingga aku bisa melakukan tusukan lebih dalam. Kembali kami berdua bekerja sama mencapai puncak kenikmatan. Kukocok-kocokkan terus batang kemaluanku dalam liang senggamanya. Sementara bibirku sibuk menelusuri telinga dan lehernya dengan ganas. Ia sampai menggelinjang ke sana ke mari karena kegelian. Punggungnya lalu terasa menegang ketika mulutku mampir ke buah dadanya dan mulai bermain-main di situ. Putingnya yang coklat dan menonjol besar itu kini menjadi bulan-bulanan lidah dan bibirku. Kubuat beberapa cupang merah di gundukan kedua bukit dadanya. Mulutnya memintaku untuk terus menyedot susunya. Dan aku melakukannya dengan senang hati. Pertahananku akhirnya bobol ketika secara pelan-pelan kurasakan batang kemaluanku terasa dijepit oleh dinding yang makin menjepit dan berdenyut-denyut. Beberapa saat kunikmati sensasi itu. Sensasi yang sudah lama tak pernah kurasakan. Tampaknya Maryati hampir mendapatkan orgasmenya yang kedua. Maka dengan perlahan-lahan penuh konsentrasi aku mulai mengayun pinggulku, mengayun dan terus mengayun, dan akhirnya menjadi gerakan menyentak-nyentak yang makin lama makin kuat. Membuat tubuh Maryati terlonjak-lonjak. Beberapa kali kutekan pantatku kuat-kuat ke depan. Menusuk dan mengocok. Dan pada tusukan yang kesekian, mulailah muncul rasa geli yang berdesir-desir pada pangkal kemaluanku. Makin lama desiran itu makin kuat, makin geli, makin enak, makin nikmat. Akhirnya aku tak kuat lagi menahan desakan cairan yang terasa mengalir dari kemaluanku yang kemudian meluncur sepanjang batang kemaluanku sampai akhirnya menyemprot kuat berkali-kali dari lubang kecil di ujung kepala kemaluanku. Cairan kental hangat itu makin melicinkan dinding liat milik Maryati sehingga memudahkan gerakan-gerakan yang mengiringi ejakulasiku. Dan gerakan-gerakan yang kubuat ternyata telah memicu kembali puncak birahi Maryati. Akhirnya yang terdengar adalah erangan kami berdua, saling bersahutan. Lalu diam. Tinggal suara dengusan nafas kami yang tersengal-sengal. Kami tadi tak sempat mandi sesuai rencana semula, tapi tubuh kami kini benar-benar telah basah karena keringat. Berdua kami berpelukan meresapi rasa nikmat yang sudah lama tak kami rasakan. Aku mau mencabut milikku, tapi dengan gaya manja Maryati melarangku. Ia lalu malah menciumku dan memintaku untuk menggendongnya ke arah shower. Dililitkannya kedua kakinya pada pinggangku lalu dengan batang kemaluan masih terselip di selangkangannya, kugendong tubuhnya menuju shower. Selanjutnya kami pun mandi bersama. Malam harinya kami mengulang kembali kejadian siang itu dengan permainan yang lebih bergairah. Begitulah pengalaman pertamaku dengan Maryati. Pengalaman pertamaku bermain cinta yang sebenarnya dengan seorang wanita yang kusukai sejak aku menduda setahun yang lalu. Hari-hari selanjutnya aku dan Maryati sudah bagaikan suami isteri yang sah saja. Tak jarang ia menginap di rumahku atau sebaliknya. Hubungan kami sangat hangat dan mesra. Bahkan menurutku lebih mesra dibandingkan dengan mantan istriku yang dulu (sebenarnya aku tak ingin membuat perbandingan, tapi itu sulit kuhindari dan memang demikianlah kenyataannya). Waktu pertama kali kenal dengan Maryati, aku tak pernah mempunyai pikiran untuk menjadi orang terdekatnya. Terus terang aku memang menyukainya, tapi hanya berani sebatas mengaguminya saja. Apalagi waktu itu aku dengar ia sedang menjalin hubungan dengan manajer sebuah perusahaan asing, seorang ekspatriat. Jadi kupikir ia punya selera bule dan aku merasa tidak masuk dalam hitungannya. Sampai suatu ketika, pada suatu malam, sehabis kami bertemu dalam sebuah acara dinner party, ia memintaku untuk mengantarnya pulang. Kebetulan saat itu ia tidak bawa mobil karena sedang masuk bengkel. Sebagai teman, dan juga sebagai lelaki, aku tentu saja tak bisa menolak permintaannya. Selama perjalanan menuju rumahnya, kami mengobrol kesana kemari. Saat masih berada di mobil, entah dalam konteks apa kami bicara, tiba-tiba kami terlibat dalam obrolan yang akhirnya kelak mengarah pada sebuah hubungan yang makin akrab. “Apakah Mas Is nggak pernah merasa kesepian?” itu pertanyaan pribadinya yang pertama kuingat. Pandangannya tetap lurus ke depan kaca mobil. “Yah, namanya juga sendiri”, aku menjawab sekenanya, setelah sebelumnya agak gelagapan menerima pertanyaan yang agak sensitif itu. “Memang kenapa?” aku mulai berani memancing. “Ya tidak apa-apa, cuma nanya saja kok. Nggak boleh?” “Boleh..” Beberapa menit kemudian kami saling terdiam. “Dik Mar sendiri bagaimana?” “Ya, sama..” “Sama bagaimana?” “Ya sama. Kadang-kadang merasa sepi juga..” “Lho, katanya sedang dekat sama Mister..” “Kata siapa?” katanya memotong seolah memprotes omonganku. “Ya, saya hanya dengar-dengar saja.” “Gosip itu Mas!” “Bener juga nggak pa-pa kok.” “Mas Is percaya?” Aku diam saja. “Saya percaya. Karena orang seperti Dik Mar pasti banyak yang suka dan mudah kalau mau cari teman.” “Kalau asal cari teman sih memang gampang. Tapi yang cocok? Sulit!” “Masak nggak ada satu pun yang cocok? Memang cari yang seperti apa?”, pancingku mesra. Maryati tertawa dan menyahut cepat, “Yang seperti Mas Iskandar!” Aku tertawa meski agak terkejut juga dan sedikit GR dengan ucapannya. Tapi aku lalu menganggap dia hanya bercanda dan aku pun lalu menanggapi dengan bercanda juga. “Wah, saya sih jauh kalau dibandingkan sama Mister..” “Tuh kan! Dibilang itu cuma gosip, nggak percaya!” ia memotong kalimatku. “Iya deh, percaya..” “Lagi pula, dia bukan tipe saya”, nadanya agak menurun. “Saya lebih suka tipe laki-laki yang kalem, tenang.. tapi macho.. seperti Mas Is..” Kali ini aku tidak lagi menganggap dia sedang bercanda. Karena ia mengucapkan kalimat itu dengan nada yang terjaga dan kemudian menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku jadi nervous. Aku ikut tersenyum dan spontan menghela nafas. Aku menoleh ke arahnya dan ia masih tersenyum tapi kini wajahnya agak tertunduk. “Dik..” aku mencoba memanggilnya, seolah ingin mendapat penegasan. “Ya, Mas..” ia menjawab dan menatap ke arahku, lalu tersenyum. Dari sikap dan ekspresi wajahnya, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri sebelum akhirnya kuberanikan diri untuk menggenggam tangannya. Dan ia diam saja. Bahkan kemudian membalas remasan tanganku. Itulah peristiwa yang mengukuhkan hubunganku dengan Maryati. Malam itu aku hanya mengantarnya sampai depan pintu pagar saja. Menjabat tangannya. Tak lebih dari itu. Tapi aku bahagia. Dan aku yakin ia juga bahagia. Ketika sampai di rumah, aku langsung menelponnya. Ada kurang lebih satu jam lamanya kami ngobrol, saling mengungkapkan perasaan kami berdua selama ini. Selanjutnya kami rajin saling menelepon dan mengadakan pertemuan demi pertemuan, mulai dari makan siang, belanja, nonton atau jalan-jalan. Aku pertama kali menciumnya waktu berada di bioskop. Tapi suasana waktu itu kurang mendukung untuk bercumbu secara total. Karena kami dalam posisi duduk berjejer, maka kami hanya bisa saling meraba, menyentuh dan sesekali berciuman. Bila aku memegang atau menyentuh bagian tertentu tubuhnya, ia akan diam saja. Demikian sebaliknya. Beberapa kali kami sempat berciuman, meski tak sempat lama. Tapi kami cukup menikmati kencan di bioskop saat itu. Bahkan tanganku sempat menelusup masuk ke celah roknya tapi hanya bisa mengelus-elus pahanya saja, karena saat itu rok yang dikenakan Maryati agak panjang. Sementara tangan Maryati relatif lebih bebas menyentuhku. Tapi ia benar-benar hanya menyentuh saja, meski sesekali memberi pijitan pada bagian depan celanaku yang menonjol karena isinya sedang menegang. Aku sebenarnya mengharap ia melakukannya lebih dari itu. Tapi lagi-lagi, suasana bioskop saat itu tak terlalu mendukung. Baru pada kesempatan kedua kami sempat bercumbu cukup panas. Kesempatannya terjadi waktu aku berkunjung ke kantornya dan masuk ke ruangan kerjanya. Ketika itu ia minta ijin sebentar untuk ke toilet pribadinya, aku segera menyusulnya dan kami lalu berciuman di lorong menuju ke arah toilet itu. Kami lalu berciuman dengan penuh gairah. Saat itulah pertama kali aku benar-benar bisa merasakan kehangatan dan kelembutan bibirnya. Sudah lama kami tak melakukan percumbuan seperti ini. Sehingga nafas kami terdengar memburu dan kami berciuman dengan lahapnya. Dan karena suasananya agak mendukung, aku pun berani menjamah bagian-bagian tubuhnya yang sensitif terutama dada dan pantatnya yang selama ini hanya bisa kupandang. Maryati pun juga mulai berani meremas milikku yang sudah mengeras dari balik celana pantalon yang kukenakan.

UNTUK MEMBACA INFORMASI TERKINI SILAHKAN KUNJUNGI buntala.com

 Aku lalu membalasnya dengan menekankan telapak tanganku ke celah pahanya yang tertutup rok kantor dan meremas bagian yang ada di sana. Meski begitu, kami tetap tak bisa leluasa untuk melakukan hal-hal yang lebih jauh. Karena bisa saja sewaktu-waktu ada karyawan yang akan masuk sementara kami dalam keadaan kusut masai. Jadi kami tetap harus menjaga semua ini. Tapi setidak-tidaknya kami bisa saling meluapkan kerinduan kami dengan bercumbu sambil saling menyentuh. Pada pertemuan di kantor itulah aku mencoba mengajaknya untuk suatu saat berkencan lebih jauh di suatu tempat yang lebih leluasa untuk melakukannya. Maryati tidak mengiyakan atau menolak ajakanku. Ia hanya menunjukkan sikap dan jawaban yang tampaknya masih hati-hati dan perlu waktu untuk memikirkannya. Dan aku menghargai sikapnya itu. Sampai akhirnya aku berhasil membawanya pergi ke Puncak sebagaimana telah kuceritakan pada bagian pertama. Kini hubungan kami sudah semakin dekat. Kencan lebih banyak kami lakukan di luar rumah. Karena bagaimana pun, status kami sebagai sebagai duda dan janda sedikit banyak pasti mendapat sorotan tersendiri di lingkungan kami masing-masing. Jadi aku dan Maryati harus bisa menjaga hubungan ini agar tak terlalu menyolok. Untuk itu aku lebih senang kalau Maryati saja yang bertandang ke rumahku, daripada aku yang harus ke rumahnya. Hal ini untuk menjaga kesan bagi diri Maryati sebagai seorang janda, di samping karena lingkunganku juga relatif lebih aman. Beberapa kali ia sempat menginap di rumahku. Sementara aku baru dua kali menginap di rumahnya. Pertama kali Maryati kuajak ke rumahku adalah sehabis aku mengantarnya jalan-jalan membeli arloji, kira-kira seminggu setelah kejadian di Puncak. Berhubung waktu pulang hujan cukup lebat, aku harus mengambil jalan memutar yang cukup jauh menuju rumahnya untuk menghindari wilayah yang biasanya banjir. Kebetulan jalan yang harus kuambil melewati jalan menuju kompleks rumahku. Maka daripada tanggung, aku menyarankan Maryati untuk mampir sebentar. “Lama juga nggak pa-pa” katanya menggoda. “Jangan ah.. Takut!” sahutku gantian menggodanya. “Takut apa?” “Takut tidak terjadi apa-apa.. ha.. ha.. ha..” “Iiihh.. dasar!” sambil tangannya mencubit pahaku. Aku berteriak, meskipun cubitannya tidak sakit. “Cubit yang lainnya dong..” aku menggodanya lagi. “Maunya!” Tapi tangannya kemudian terulur ke arah selangkanganku dan mulai menarik retsleting celana jeans-ku ke bawah. Masih dalam posisi menyetir, aku segera mengatur posisi dudukku agar ia bisa leluasa membuka celanaku. Dalam sekejap milikku sudah terjulur keluar dari celah atas celana dalamku. Milikku mulai membesar tapi belum tegang. Tangan kanan Maryati lalu mulai beraksi meremas dan memijit-mijit. Maka segera pula otot pejal kebanggaanku itu mulai bangun berdiri. Aku berusaha berkonsentrasi dengan setir mobil. Apalagi di luar sana hujan makin lebat. Wiper yang bergerak-gerak seperti tak mampu menahan air hujan yang turun meleleh di kaca depan. Sebagaimana aku tak dapat menahan rasa geli yang mulai muncul ketika tangan Maryati pelan-pelan mulai mengocok. Batangku dijepitnya hanya dengan menggunakan jempol dan jari tengahnya. Lalu dengan cara seperti itu ia membuat gerakan memijit dan mengocok bergantian. “Digenggam dong..” kataku menuntut. “Tadi katanya minta dicubit”, jawabnya sambil melakukan gerakan mencubit pelan pada pangkal kemaluanku yang kini sudah mengeras. Membuatku menggelinjang. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Ya sudah, aku nikmati saja apa yang dilakukan. Bahkan aku kemudian menjulurkan tangan kiriku ke arah buah dadanya yang terbungkus blus tanpa kancing, sementara tangan kananku tetap memegang kemudi. Kurasakan buah dadanya sudah mengeras kencang. Aku makin bernafsu meremasnya. Maka mulailah acara saling meremas dan memijit, di dalam mobil, di tengah hujan deras. Tampaknya Maryati mulai terangsang dengan gerayangan tanganku pada buah dadanya. Ia memintaku untuk melakukannya di bagian tubuhnya yang lain, ketika tangannya tiba-tiba menuntun jariku menuju ke sela-sela pahanya yang sengaja dibukanya agak lebar. Roknya sudah ia tarik ke atas sebatas pinggul. Maka jari-jari tangan kiriku pun segera beraksi di bagian depan celana dalamnya yang menyembul hangat dan sudah mulai lembab itu. Pandanganku tetap harus ke depan, ke arah jalan yang mulai masuk ke kompleks rumahku. Sedangkan Maryati bisa dengan enaknya menggeliat-geliat sambil mendongakkan kepalanya menikmati gelitikan jariku pada bagian luar CD-nya tepat di bagian celah kemaluannya. Sementara tangan kanannya kini tak lagi memijit-mijit, tapi sudah menggenggam batang kemaluanku yang makin meradang karena terus dikocok-kocok olehnya. Aku menarik tanganku dari sela paha Maryati ketika mobil sudah mulai masuk ke jalan menuju rumahku. Maryati sempat mendesah ketika aku menghentikan aksiku. “Sudah sampai..” kataku memberi alasan sekaligus mengingatkan dia. Ia segera membenahi pakaiannya dan kemudian gantian membereskan celanaku yang sudah setengah terbuka. Kemaluanku yang belum sepenuhnya lemas, agak sulit untuk dibungkus kembali. “Bandel nih!” gerutu Maryati. “Gede sih.. hehehe..” aku tertawa melihatnya kesulitan memasukkan batang kemaluanku kembali ke celana. “Sudah biarin, nanti juga kan dikeluarin”, lanjutku. Maryati lalu kusuruh turun duluan menuju teras. Aku kemudian memasukkan mobil ke garasi, membetulkan celanaku dan kemudian bergegas keluar garasi menuju teras menyusul Maryati yang rambut dan pakaiannya terlihat agak basah oleh air hujan. Kami lalu segera masuk ke dalam rumah. Inilah pertama kali Maryati berkunjung ke kediamanku. Ia agak sedikit canggung dan terlihat kurang nyaman ketika berada di ruang tamu. Apalagi kondisi tubuhnya agak basah oleh air hujan. Blusnya yang basah menampakkan bagian gumpalan dadanya yang sedikit menyembul dari BH yang dikenakannya. Aku kembali terangsang melihat pemandangan itu. Segera kupeluk tubuhnya dan kami pun lalu tenggelam dalam ciuman yang bergelora. Birahi kami memanas kembali. Ciuman pun berkembang menjadi acara saling meremas. Saling menekan. Saling merangsang. Kami berdua lalu membantu melepaskan pakaian satu sama lain dan membiarkannya terserak di lantai ruang tamu. Tubuh telanjang kami pun menempel makin lekat. “Di sini saja..” katanya ketika aku akan menariknya untuk masuk ke kamar tidur. Kami kemudian memilih sofa ruang tamu sebagai tempat main. Di luar hujan masih turun dengan derasnya. Suara tempaan airnya menyamarkan desahan dan lenguhan yang keluar dari mulut kami berdua. Tubuh bugil kami bergelut dengan penuh gairah di atas sofa tamu itu. Beberapa saat kemudian Maryati meminta ijinku untuk melakukan oral seks. Tentu saja kuijinkan. Ia memang senang dengan milikku yang katanya punyaku ukuran besar terutama di bagian kepalanya. Sehingga ia senang sekali melumat dan mengisap bagian kepala kemaluanku yang kini terlihat bulat membonggol dan tampak licin mengkilat akibat lumuran ludahnya. Selama ia melakukan permainan mulut, aku berusaha mengimbanginya dengan merangsang bibir kemaluannya dengan jariku. Saat itu posisiku setengah rebahan dan menyandarkan kepalaku pada sandaran sofa. Sedangkan Maryati berbaring miring setengah telungkup di samping pinggangku. Ia menggeliat ketika jari tengahku mulai menerobos masuk ke celah miliknya, sementara jempolku bermain-main pada klitorisnya. “Ouu..” jeritnya tertahan. “Kenapa? enak?” tanyaku sambil menusukkan jari tengahku lebih dalam dan memutar lebih keras jempolku pada tonjolan kecil di atas bibir kemaluannya. Kembali mulutnya bersuara, tapi kali ini lebih riuh dan lebih mirip desisan. Sejenak mulutnya terlepas dari batang kemaluanku. Tapi sesaat kemudian ia menunduk kembali dan melumat habis pisang ambonku hampir ke pangkalnya dan mengisapnya sedemikian rupa sampai aku merinding kegelian. Pantatku sempat tersentak-sentak karena kenikmatan. “Kenapa? enak ya?” katanya sambil melirikku, lalu melanjutkan kulumannya kembali. Sepertinya Maryati ingin membalas atau mungkin ingin mengimbangi perbuatanku tadi. Selanjutnya kami tak sempat bicara sepatah kata pun karena terlalu serius untuk saling melakukan dan menikmati rangsangan. Mataku terpejam mencoba menikmati setiap hisapan mulut Maryati, sementara jari-jari tangan kananku terus asyik bermain-main di sekitar liang kewanitaannya. Berbeda dengan milikku, rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan Maryati tak terlalu lebat, tapi tumbuhnya lebih halus dan rapi. Dan aku suka sekali mengusap-usapnya. Sedangkan rambut kemaluanku tentu saja lebih kasar dan lebat tumbuhnya hingga ke arah pusar, perut dan dada. Maryati juga suka mengusap-usap bulu-bulu yang tumbuh di sekitar tubuhku itu. Katanya, dengan kondisi seperti itu, aku seperti nyomet, demikian ia memplesetkan istilah monyet. Siang itu akhirnya kami melakukannya sampai dua kali. Ronde pertama diawali ketika Maryati mulai bangkit dari posisi tengkurapnya, lalu mulai mengangkangi pinggulku, dan kemudian menelusupkan batang kejantananku yang sudah tegang keras itu ke sela-sela pahanya. Dengan posisi antara duduk dan bersandar, aku mencoba membantunya dengan sedikit mengangkat pantatku ke atas. Maka sedikit demi sedikit amblaslah kepala kemaluanku ditelan mulut kecil yang ada di selangkangannya. Terasa sekali liang ketat namun lembut menjepit sepanjang batang kemaluanku. Rasanya hangat, lembut dan agak-agak terasa kesat. Kenikmatan semakin terasa ketika kepala kemaluanku yang sensitif itu menyentuh ujung dinding kemaluan Maryati. Sejenak Maryati memutar-mutar pinggulnya seolah merayakan pertemuan total itu. Secara spontan kami berdua serempak memperdengarkan rintihan kenikmatan. Maryati pun tampaknya meresapi jejalan batang dan gesekan urat yang ada di sekujur kemaluanku. Mulutnya mendesis-desis seperti orang kepedasan. Beberapa kali jarinya berusaha menyentuh bagian luar bibir kewanitaannya seperti mau menggaruk seolah kegelian. Maryati kemudian mengatur posisi berlututnya sedemikian rupa dan beberapa saat kemudian ia mulai menggenjot tubuhnya naik turun. Makin lama genjotannya makin cepat, sehingga membuat buah dadanya tampak berayun-ayun di depan wajahku. Mulutku segera menangkap putingnya yang sudah mengeras itu dan segera melumatnya habis. Ia menjerit tertahan. Tapi aku tak mempedulikan dan bahkan makin asyik mengulum kedua bukit padatnya itu bergantian. Sementara di bawah sana pinggulku terus menyentak-nyentak mengimbangi genjotannya di atas tubuhku. Terasa sekali rasa nikmat menjalar di sekitar pangkal dan sekujur batang kemaluanku. Suara hujan di halaman depan makin membuatku bergairah. Entah sudah berapa lama kami dalam posisi seperti ini. Kami hanya bisa saling memperdengarkan rintihan dan desah kenikmatan. Tubuh Maryati pun terus meliuk dan menggeliat-geliat di atas tubuhku. Kedua pahanya yang sejak tadi mengangkang dan bertumpu di jok sofa, mulai kuelus-elus. Dan ia menyukainya karena lenguh kenikmatannya makin kerap terdengar. Elusanku lalu bergeser ke bukit pantatnya. Tapi kini aku tak lagi mengelus. Tanganku lebih sering meremas di bagian itu. Membuat Maryati makin menggelinjang. Kami mengakhiri permainan ketika Maryati mulai menunjukkan tanda-tanda akan mencapai puncak birahi. Aku segera mempergencar tusukan dan hentakanku dari bawah. Kedua tangannya sudah memeluk kepalaku sehingga membuat wajahku terbenam di belahan dadanya. Kedua kakinya kini menjepit erat pinggangku. Sementara posisi bersandarku sudah agak merosot ke bawah. Beberapa menit kami masih sempat bertahan dalam posisi itu sambil terus berpacu menuju puncak kenikmatan. “Mass.. Masshh.. Mass Isshh..” “Dik Maarrhh.. oohh.. Dik..” Kami saling memanggil nama masing-masing. Entah apa maksudnya. Barangkali untuk menyatakan kemesraan, atau untuk mencoba menahan rasa nikmat yang mulai sulit kami kendalikan. Ketika nada jeritan Maryati mulai terdengar agak keras, aku segera mengangkat tubuhnya, membalikkan dan membaringkannya ke badan sofa. Kini dalam posisi aku berada di atas, kugenjot tubuhnya habis-habisan sampai kami berdua akhirnya mencapai orgasme hampir bersamaan. Aku mengerang-ngerang ketika kurasakan air maniku mulai menyembur. Ada sekitar empat kali aku menembakkan air maniku. Alirannya terasa sepanjang batang kemaluanku. Rasanya berdesir-desir nikmat. Maryati pun kulihat menikmati puncak birahinya. Wajahnya memerah dan matanya terpejam. Sementara tubuhnya sesekali bergetar menahan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhnya. Aku segera melumat bibirnya dan kami pun melengkapi puncak kenikmatan ini dengan ciuman yang dalam dan lama. Sesekali tubuh kami tersengal oleh sisa-sisa letupan kenikmatan yang belum sepenuhnya reda. Suara riuh hujan tak terdengar lagi. Hanya bunyi tetes-tetes air yang berdentang-dentang menimpa atap seng. Entah sejak kapan hujan mulai reda. Kami terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Kami masih berbaring di atas sofa. Maryati berbaring di atas tubuhku yang telentang. Tanganku mengusap-usap punggungnya yang masih bergerak-gerak halus seiring nafasnya. Sementara tangannya bermain-main di sekitar bulu dada dan perutku yang masih basah oleh keringat. “Tidur di sini ya..” kataku membujuknya. “Tidur di sini? Di sofa ini?” tanyanya. “Bukan. Maksudku Dik Mar malam ini nginep di rumahku”, jelasku. “Oo.. Boleh.. Tapi hadiahnya apa?” sahutnya mulai manja. “Hadiahnya?” tanyaku bingung. Aku terdiam sejenak, dan kemudian kuraih tangannya lalu kuarahkan ke batang kemaluanku yang sudah mulai melemas, “Niih.. hadiahnya!” Ia tergelak dan kami lalu tertawa bersama. Tangannya kemudian meremas milikku. Meremas dan terus meremas. Selanjutnya kami pun akhirnya kembali bergelut di atas sofa itu, mempersiapkan permainan berikutnya. Tapi untuk ronde kedua ini kami akan menyelesaikannya di kamar tidur. Setelah puas melakukan pemanasan di atas sofa di ruang tamu, kami lantas beranjak masuk ke kamar tidurku. Inilah pertama kali Maryati masuk ke sini. Sebenarnya sudah lama aku ingin mengajaknya masuk ke ruangan ini. Tapi baru pada kesempatan inilah keinginanku kesampaian. Bahkan aku tidak hanya kesampaian membawanya masuk, tapi sebentar lagi aku juga kesampaian untuk menidurinya di atas kasur yang selama menduda ini hanya kupakai tidur sendirian. Begitu pintu kamar tertutup, Maryati langsung memelukku dan kami berciuman dengan mesranya. Kulit tubuh kami yang sudah polos telanjang itu seolah telah menjadi konduktor yang saling mengirimkan panas birahi yang terus menggelegak. Batang kemaluanku yang tegang berat itu menempel ketat tepat di atas belahan kemaluannya mengacung ke arah pusarnya. Dengan posisi demikian kantong zakarku langsung bergesekan dengan rambut kemaluannya. Rasanya geli. Apalagi Maryati terus menggesek-gesekkan bagian itu selama kami berciuman. Ia tampak kesenangan menikmati permainan ini. Tapi Maryati paling senang ketika aku memeluknya dari belakang. Tak henti-hentinya ia menggoyang-goyangkan pantatnya pada batang kemaluanku, dan aku mengimbanginya dengan meremasi buah dadanya dari belakang sambil terus menciumi daerah telinga, leher dan bibirnya dari arah samping. Bercumbu dengan posisi begini memang mengasyikan. Batang kejantananku seperti meluncur-luncur di sela-sela garis pantatnya. Rasanya lembut dan geli. Bagai dielus-elus dengan kain beludru. “Mass..” desahnya sambil membalikkan badannya dan kemudian melingkarkan tangannya ke leherku. “Apa..?” kucengkeram kedua pinggulnya yang padat bulat itu. “Siapa saja yang sudah pernah tidur di sini?” tanyanya mulai menggodaku. Aku agak heran dengan pertanyaannya yang rada menyelidik itu. “Nggak ada”, jawabku pendek. “Masak sih, nggak ada?” “Iya..” aku berusaha meyakinkannya. “Lha, istri Mas Is dulu tidur di mana?” “Oo itu.. Ya, kalau dulu sih ini memang tempat tidur kami berdua. Tapi sejak pisah, ya nggak ada orang lain lagi yang pernah tidur di sini selain aku sendiri..” “Beneer..?” nadanya mulai meledek. “Sumpah..” balasku manja. “Terus, kalau Mas Is lagi kepingin, mainnya di mana dong?” “Kepingin apa?” tanyaku pura-pura bodoh. “Ya, kepingin begituan..” “Kalau lagi kepingin.. ya kadang-kadang mainnya di sini..” “Lho? tadi katanya nggak ada orang lain yang tidur di sini selain istri Mas Is..” Aku tertawa pendek menyadari kebingungan Maryati. “Kalau mau main, memangnya harus ada orang lain?” kataku kemudian. “Maksudnya?” ia makin kebingungan. “Emangnya nggak bisa main sendiri..?” “Idiih.. maksudnya..?” Maryati tak meneruskan kalimatnya, tapi matanya menatapku lucu dan tangannya lalu menggenggam milikku dan mengocok-ngocoknya. Seolah ingin memastikan bahwa perbuatan seperti itulah yang aku maksudkan dengan main sendiri, alias onani. Aku mengangguk membenarkan maksudnya. Ia tertawa. “Kok ketawa?” kataku sambil mendekap tubuhnya dengan gemas. “Nggak kebayang deh..” jawabnya sambil masih cekikikan. “Ya jangan dibayangin dong.” “Kalau nggak boleh ngebayangin, boleh dong saya lihat Mas Is melakukan itu.” “Hah?” kataku kaget. Kini gantian aku yang tertawa mendengar permintaannya yang tidak biasa itu. Selama ini, sejak pisah dengan istriku, pemenuhan kebutuhan seksualku memang lebih banyak kulakukan dengan cara onani saja, karena aku termasuk konservatif, nggak bisa main sembarangan, hati-hati dan penuh perhitungan. Melakukan onani bagiku lebih save dan cukup memuaskan. Hampir semua laki-laki pasti pernah melakukan seks swalayan itu. Dulu waktu masih remaja aku juga sering melakukannya dan mendapatkan kepuasan dari situ. Bahkan ketika sudah menikah pun aku kadang-kadang juga masih melakukannya, terutama bila istriku dulu sedang berhalangan. Aku bisa minta dia membantuku beronani atau aku melakukannya sendiri tanpa dia. Apalagi setelah kami cerai, acara ngocok bisa kulakukan seminggu sekali, bahkan lebih kalau nafsuku lagi kencang-kencangnya. Biasanya aku melakukannya menjelang tidur atau saat bangun tidur. Sudah alamiah, punya laki-laki kalau saat bangun tidur pagi hari biasanya dalam kondisi sedang ereksi. Kalau kebetulan saat itu volatage-ku juga sedang tinggi-tingginya, biasanya langsung kusalurkan dengan cara mengocok. Aku bisa melakukannya di atas tempat tidur atau di kamar mandi waktu mandi pagi. Kalau aku melakukannya menjelang tidur, biasanya sambil melihat majalah atau film porno koleksiku atau hasil pinjaman. Tapi kalau melakukannya ketika bangun tidur atau di kamar mandi, aku cukup dengan berkhayal saja. Selama ini aku lebih banyak melakukan onani dengan tangan kering, karena keluarnya bisa agak lama. Tapi untuk sensasi, kadang-kadang aku pakai baby oil atau sabun kalau pas melakukannya di kamar mandi. Saya rasa yang terakhir itu (nyabun) biasa dilakukan oleh laki-laki. Tentunya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Dan kamar mandi memang tempat yang paling populer untuk beronani ria. Karena tempatnya aman, tertutup dan bisa telanjang dengan bebas, sehingga tak perlu takut dicurigai atau diketahui orang lain. Tapi kini, ada seorang wanita yang ingin menontonku melakukan onani di hadapannya. Gila! Aku sampai tertawa menanggapi permintaan Maryati yang nyeleneh itu. Tapi aku menghentikan tawaku begitu menyadari bahwa Maryati tampaknya serius memintaku melakukan itu. “Oke”, kataku akhirnya, “Tapi janji, Dik Mar juga harus ikut melakukan itu di depan saya..” “Nggak ah!” sergahnya cepat. “Kenapa? Memang nggak pernah..?” “Ihh.. pakai nanya lagi!” katanya sambil mencubitku. Segera kutangkap tangannya, kupeluk tubuhnya dan kami lalu kembali tenggelam dalam ciuman yang mesra dan bergairah. Sejenak kemudian aku melepas pelukanku dan membimbing tubuhnya berbaring di atas ranjang. Aku sendiri kemudian berbalik berjalan menuju kursi dekat meja kecil di seberang tempat tidur, dan duduk santai di atasnya. “Dik..” kataku memberi isyarat pada Maryati yang tergolek di atas kasur di depanku. Aku kemudian memancing dia dengan mulai meremas-remas milikku sendiri yang sudah tegang itu. Beberapa saat kemudian Maryati pun mulai mengikuti perbuatanku. Jari-jarinya mulai terarah menuju selangkangannya, mulai menggelitik dan mengusap-usap miliknya sendiri. Maka dimulailah pertunjukan seks swalayan. Kami berdua saling berpandangan dan saling mengamati perbuatan satu sama lain. Tubuh Maryati tampak telentang miring bersandar pada salah satu sikunya. Posisi tubuhnya menghadap ke arahku. Sehingga aku bisa dengan leluasa melihat semua gerakan masturbasinya. Posisi dudukku sendiri sudah tidak tegak lagi, tapi sudah setengah bersandar. Kedua paha dan kakiku selonjor ke depan dan sengaja kubuka lebar-lebar. Aku memainkan milikku dengan gerakan bervariasi, mulai dari meremas, mengurut, memijat sampai gerakan mengocok. Sesekali aku juga merangsang buah pelirku dengan cara mengusap-usap dan meremas-remasnya. Seolah-olah aku ingin menunjukkan pada Maryati semua gerakan onani yang biasa kulakukan selama ini. Kami berdua mulai saling terangsang oleh perbuatan kami masing-masing. Kalau selama ini aku beronani sambil nonton BF atau lihat gambar porno sambil mengkhayal hal-hal yang merangsang, maka kini aku melakukannya dengan bantuan obyek dan kejadian yang lebih nyata. Aku sampai kesulitan menahan keinginanku untuk tidak menyetubuhi Maryati karena sangat terangsang melihat segala gerakannya selama bermasturbasi itu. Semua begitu nyata dan merangsang. Aku yakin Maryati pun merasakan hal yang sama selama melihat secara langsung seorang laki-laki beronani di hadapannya. Matanya kulihat mulai sayu tapi terus mengamati gerakan-gerakan tangan yang kubuat terhadap kemaluanku sendiri. Aku hampir mencapai puncak, ketika kudengar mulut Maryati mulai merintih-rintih sambil menatapku dengan wajah seperti orang ingin menangis. Jari manis dan jari tengahnya tampak bergerak cepat mengusap dan menekan-nekan bagian atas bibir kemaluannya khususnya di bagian klitorisnya. Ia mulai memanggil-manggil namaku dan tubuhnya mulai mengejang. Punggungnya kemudian melengkung dan kedua pahanya merapat menjepit tangannya sendiri yang terselip di selangkangannya. Aku semakin terangsang melihat pemandangan nyata di depanku. Desiran-desiran mulai kurasakan pada pangkal kemaluanku sendiri. Dan aku semakin memperkuat kocokan tanganku sendiri sampai menimbulkan sedikit bunyi yang diakibatkan oleh bercampurnya keringat di telapak tanganku dan cairan bening yang mulai keluar dan meleleh dari lubang kecil di ujung kemaluanku. Tapi akhirnya aku tak tahan lagi begitu mendengar Maryati berteriak memekik. Dan aku segera loncat dari kursi dan menghambur ke arahnya. Aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini. Segera kubuka pahanya yang masih merapat itu dan tanpa ba bi Bu kutusukkan batang kemaluanku ke lubang yang sudah basah oleh cairan birahi itu. Maryati terpekik ketika seluruh kejantananku dengan cepat dapat menerobos dan menyelip masuk. Kurasakan di dalam sana milikku berdenyut-denyut oleh konstraksi dindingnya, menimbulkan rasa geli yang sangat nikmat. Rupanya orgasme Maryati datang bersamaan dengan hujaman rudalku. Sejenak aku diam menikmati pengaruh orgasme di tubuh Maryati pada batang kemaluanku. Lalu pelan-pelan aku mulai menggoyang dan mengayun pinggulku. Pelan dan pelan. Berputar dan mengulir. Sesekali menyentak. Kunikmati sekali persetubuhan ini, sampai akhirnya aku mulai melakukan gerakan memompa dan menusuk-nusuk. Maryati tampak mulai menikmati genjotanku. Ia menggeliat-geliat sambil melenguh dan sesekali tersenyum dengan mata terpejam. Seolah meresapi segala gerakan nikmat yang kuciptakan pada tubuhnya. Aku sendiri, karena akibat onani tadi, sudah beberapa kali harus menahan desiran yang terus muncul dari pangkal selangkanganku. Biasanya ini tanda orgasmeku mau datang. Tapi aku merasa sayang untuk mengeluarkannya sekarang. Seolah seperti membaca pikiranku, tiba-tiba Maryati memintaku untuk segera menyemprotkan cairan maniku yang sedari tadi kutahan. “Keluarin Mass.. keluarin sekarang.. di luar saja..” ia merintih sambil menatapku sayu. Aku mengerti maksudnya. Maka segera kucabut batang kemaluanku dan dengan posisi mengangkangi perutnya, aku lalu melakukan onani di atas tubuhnya. Kukocok dan kukocok terus milikku dengan kuat. Cairan kemaluan Maryati yang menempel di sekujur batang kemaluanku makin memperlancar gerakan tanganku. Kepala kemaluanku yang bulat mengkilat tampak tersengal-sengal dalam genggaman tanganku. Maryati pun tampak menikmati sekali atraksi yang sedang kulakukan di atas tubuhnya. Bahkan ia mulai meraba-raba kantung pelirku. Oh tidak, ia tak cuma meraba, tapi juga meremas-remas kantung bulat berkulit tebal itu. Membuat pinggul dan pantatku bergerak-gerak seiring remasan tangannya. “Ooohh, nikmat sekali..” Aku menggeram tertahan, ketika akhirnya semprotan maniku yang pertama memancar dengan kuat. Langsung mengenai wajah Maryati. Tapi ia dengan senangnya merasakan sentuhan air kental hangat itu di pipinya. Matanya tak sedikit pun lepas dari kemaluanku yang sedang meradang memuntahkan semprotan-semprotan berikutnya. Semua memancar dan menyemprot tak hanya ke wajahnya, tapi juga bibir dan buah dada Maryati. Tangannya kulihat sibuk mengusap cairan putih kental itu dan meratakannya ke permukaan payudaranya. Terakhir kulihat Maryati menjilat sisa spermaku yang ada di ujung jarinya. Aku betul-betul puas dengan semua ini dan puncak birahi ini telah membuat seluruh sendi tubuhku serasa dilolosi sehingga aku terpaksa harus menahan tubuhku agar tak rebah menjatuhi tubuh Maryati. Maka dengan bertumpu pada kedua telapak tanganku, pelan-pelan aku merundukkan tubuhku sehingga tubuhku merapat agak menindih dan membuat batang kemaluanku mendarat tepat di sela-sela kedua bukit buah dadanya. Rasa kenyal yang diciptakan membuatku bereaksi untuk menggeser-geserkan pisang ambonku di celah kedua bukit itu. Ah.. geli sekali rasanya. Geli yang nikmat. Nikmat yang sangat. Beberapa kali tubuhku sampai tersentak-sentak oleh rasa geli yang muncul belakangan itu. Apalagi kedua telapak tangan Maryati kemudian menekan kedua pantatku ke bawah dan memutar-mutarnya. Aku hanya bisa melenguh menikmati bonus orgasme yang diberikannya. “Enak Mas?” kata Maryati ketika akhirnya aku rebah di sebelah kiri tubuhnya. “Hhheehh..” aku hanya bisa mendesah dan membalas kecupan bibirnya. “Mas Is seksi banget kalau lagi ngocok..” “Hmm.. asal jangan djadikan tontonan rutin saja..” sahutku masih terengah. “Kenapa?” tanyanya. “Masak mau ngocok terus?” sahutku. “Katanya sudah biasa..” katanya. “Ya, tapi kan sekarang sudah ada Dik Mar”, kataku. “Kalau saya sedang nggak ada, atau lagi berhalangan, gimana?” tanyanya. “Tergantung..” sahutku seenaknya. “Tergantung apa?” tanyanya lagi. “Tergantung yang menggantung!” kataku. “Iiihh..” tangan Maryati mencubit bagian tubuhku yang menggantung itu. Aku sampai berteriak. Tapi kemudian ia membelai-belai mesra buah pelirku. “Bagaimana kalau yang berhalangan saya?” aku lalu gantian bertanya. “Hmm..” ia tampak berpikir. “Ya, kalau dalam keadaan terjepit seperti itu ya harus bisa memanfaatkan kesempatan..” katanya. “Kok, kesempatan?” tanyaku heran. “Iya, yang sempit-sempit harus diberi kesempatan untuk tetap menjepit meskipun dalam keadaan terjepit..” jawabnya tenang sambil senyum-senyum. Aku tertawa ngakak mendengar balasannya yang cerdas itu. Segera kurengkuh pinggangnya dan kutindih tubuhnya sebelum ia sempat mengelak. Kutempelkan punyaku tepat di cekungan pangkal pahanya. “Jadi, kapan lagi mau menjepit yang menggantung?” tanyaku bercanda sambil menekan milikku ke miliknya. “Itu sih tergantung dari yang mau terjepit..” sahutnya kocak sambil sedikit menggoyangkan pinggulnya. Sialan, gerakannya membuatku berdesir. Tapi sore ini aku tak ingin terlalu menuruti hawa nafsu yang muncul. Maryati pun bukan type wanita yang menggebu-gebu nafsu seksnya. Bagi kami, yang penting adalah kualitas dalam bermain cinta, bukan kuantitas atau frekuensinya. Maka sore itu juga, setelah selesai mandi, Maryati memintaku untuk mengantarnya pulang ke rumah. Selama di mobil kami ngobrol dan guyon-guyon mengenai hal-hal yang ringan. Tak ada lagi acara saling remas seperti siang tadi. Karena semuanya sudah tersalurkan.

UNTUK MEMBACA INFORMASI TERKINI SILAHKAN KUNJUNGI buntala.com

Senin, 18 April 2016

Anak Guru SMA-ku



Saat ini aku masih merasakan sensasi yang terjadi 4 hari lalu di lantai dua rumahku. Umurku sudah 27 tahun, tetapi aku baru saja merasakan hal yang luar biasa dalam untuk pertama kalinya dalam hidup ini.

Diawali dengan pertemuan di sebuah toko kelontong di perumahan tempat tinggalku, aku jadi akrab dengan Vita. Dia anak dari guru SMA ku yang sudah meninggal. Umurnya masih 18 tahun. Vita mempunyai body yang sangat wah, dengan wajah mirip salah satu artis indonesia, tinggi badan 165 cm, ukuran dada 36, kulit putih bersih, dan rambut panjang melebihi bahu.

untuk download film blue terbaru silahkan klik disini

Setelah pertemuan di toko kelontong, kami jadi sering berhubungan lewat telpon. Dan jarak rumah kami yang dekat, terpaut dua gang dengan rumahku membuat kami janjian untuk bertemu dirumahku.

“Fir, nanti sore aku main ke rumah kamu ya?” katanya di telepon.
“Boleh deh, kebetulan bapak dan ibu ada acara arisan keluarga.” Aku menyetujui permintaannya.
Oh ya, aku tinggal dengan kedua orang tua dan nenekku. Kalau bapak dan ibu pergi, aku harus di rumah menemani nenek.



“Teng.. teng!” aku mendengar suara gembok pagar dipukulkan ke pagar.
“Sebentar!” sahutku.
Ternyata Vita yang datang, wah senang banget ternyata dia tidak main-main.
“Sebentar Vit, wah sexy banget non, mau ke mana?” sambil buka kunci pagar aku nyerocos menyapa dia.
“Ya mau ke sini Fir. Eh, pakaianku terlalu terbuka ya?” Dia malah nanya.
Body yang sexy dibalut tank-top warna biru menonjolkan warna kulitnya yang putih dan tonjolan dadanya yang besar.
“He, kamu ngelihat apa kok gak pake bernafas..?” Dia merasa kalau mataku tidak terlepas dari arah dadanya.
“Ehm, eh.. gak pa pa. Silahkan masuk Vit.” Aku jadi salah tingkah.
“Siapa Fir?” Nenekku yang ada di ruang keluarga mengeluarkan suaranya dengan nada bertanya.
“Vita Nek, anaknya Bu P yang tinggal di Jl. P itu lho.” aku jawab saja sambil menggandeng Vita ke ruang tamu.
“Duduk Vit, mau minum apa?” tanyaku sambil berjalan ke dapur.
“Apa aja Fir, eh air putih aja deh. Oh ya jangan yang dingin ya, yang biasa saja.” jawab dia.
“Kalau gitu kamu ambil sendiri aja. Aku mau mandi dulu, lengket nih tadi habis motong rumput di halaman belakang.” sambil ngomong aku melirik kembali ke ruang tamu. Dan sempat terlihat sekilas warna putih pahanya saat Vita meluruskan kaki mau berdiri. Ada getaran asyik dan aneh setelah menyaksikan pemandangan indah itu.

untuk download film blue terbaru silahkan klik disini

Segarnya guyuran air saat mandi menjadikan aku teringat dengan paha Vita, dan sedikit demi sedikit kemaluanku mengeras serta menimbulkan perasaan yang enak.
“Vita mau nggak ya aku ajak ML?” tanyaku pada diri sendiri.
Sambil masih berbalut handuk dari pinggang ke bawah, aku keluar menemui Vita.
“Fir, pakai dulu celanamu, gak sopan tuh.” Nenekku nyeletuk, waduh jadi malu dan merasa salah tingkah. Tapi aku cuek saja.
“Iya Nek.” aku jawab sekenanya sambil tetap jalan ke ruang tamu.

Di sana Vita sudah menunggu sambil tangannya memegang segelas air putih yang diambilnya dari dispenser. Posisi duduknya menyebabkan sebagian pahanya yang putih terlihat sampai dekat bongkahan pantatnya. Aku menelan ludah, mungkin dia melihat gelagatku ini. Wah pasti deh wajahku kelihatan merah padam.
“Fir, ke atas yuk. Aku pingin tahu apa rumahku terlihat dari sini.” pintanya.
“OK, tapi aku pake celana dulu ya.” jawabku.
“Gak usah Fir, biar aja.” wah dia ternyata dia gak punya pikiran aneh-aneh.
“Nek, aku ke atas..!” teriakku minta ijin ke Nenek.
“Iya. Fir, telponnya kamu bawa saja kalau-kalau nanti bapakmu telepon.” sahut Nenek.
“Biar aja di bawah Nek, nanti kalau ada telpon Fir yang turun.” sahutku lagi.
“Ayo Fir, cepetan. Ntar keburu malam, aku harus belajar Matematika.” Vita merajuk sambil tangannya menarik lenganku yang masih membetulkan ikatan handuk. Akibatnya, handukku sedikit terbuka di bagian depan sehingga batang kemaluanku jadi terlihat oleh Vita.
“Hi, apa itu Fir. Kok hitam gitu, berambut lagi.” celetuknya dengan ekspresi terkejut.
“Ini kemaluanku namanya Mr. P” jawabku sekenanya sambil membetulkan handuk.
Lalu kami melanjutkan perjalanan menaiki tangga ke lantai dua.

Ruang di lantai dua sengaja aku atur tanpa menggunakan kursi, hanya meja rendah dan bundar model Jepang yang ada di tengah karpet tebal berwarna biru. Ada 4 bantal besar dengan cover bermotif oriental dengan warna biru muda yang dipakai sebagai alas duduk. Ada TV 21″ dan VCD player di pojok ruang .

“Fir, itu apaan? Kok aneh, tadi kan nggak ada?” tanyanya sambil pandangannya mengarah ke bawah perutku. Rupanya dia menyadari kalau dari tadi aku melihat ke arah dadanya, sehingga aku yang keasyikan menikmati pemandangan indah jadi terkejut.
“Ehm.. ini tho? Ini Mr. P yang lagi tegang, kamu pingin lihat?” jawabku sambil bertanya.
“Nggak deh, malu. Lagian buat apa?” dia malah balik bertanya.
“Kesempatan nih.” pikirku.
“Ya biar kamu tahu bagaimana bentuk kelamin pria pada saat tegang.” celetukku.
“Gimana ya?” dia berpikir sejenak. Lalu..
“OK deh. Tapi nggak ada efeknya negatifnya kan?” dia mulai terpancing.
“Oh ya Vit, biar asyik. Gimana kalau kita nanti gantian ngasih liat punya masing-masing. Dijamin deh, nggak bakalan ada yang dirugikan.” aku mulai melancarkan seranganku.

Matanya sedikit terbelalak ketika melihat Mr. P ku yang berukuran jumbo dengan diameter 4, 5 cm dan panjang 18 cm.
“Waah, gedhe banget ya. Fir, apa setiap pria berukuran segitu?” tanyanya.
Matanya masih menelusuri tubuhku mulai dada sampai pangkal pahaku. Nafasnya mulai sedikit cepat.
“Asyik nih, dia udah mulai terangsang” dalam hati aku bersorak gembira.
“Vit, gantian dong. Sekarang kamu yang buka baju, apa perlu aku bantu bukain baju kamu?” aku menghentikan tatapannya yang mulai bergairah.
“Ehm, boleh. Tapi jangan diapa-apain ya, cuman lihat aja ya.” Dia berkata sambil mendekatkan tubuhnya ke arahku.

Aku tatap terus matanya lalu mulai membuka t-shirt nya ke arah atas. Pada saat t-shirtnya melintas di wajahnya dan kedua tangannya terangkat ke atas (bayangin deh, tubuhnya terbuka banget..), aku berhenti sejenak, sambil mencuri cium dadanya.
“Fir.! jangan ah, geli.” Dia agak berteriak kaget, tapi tidak ada bagian tubuhnya yang mencoba menghentikan aksiku. Aku merasa ada lampu hijau buat meneruskan aksiku ini.

Lalu terlepaslah t-shirt nya dan terlihatlah tubuh bagian atasnya yang terbuka dan hanya berbalut bra dengan model bikini warna putih. Payudaranya terlihat menonjol dan menantangku untuk meremasnya, tapi aku tahan keinginan itu.
“Wah, putih banget ya kulitmu. Jadi pingin tahu yang di dalam situ.” celetukku sambil menunjuk ke arah payudaranya.
“Ya udah, lihat aja.” sambil berkata gitu Vita melepas penutup dadanya.
Sekarang terpampang dengan jelas dua payudara putih dengan puting agak merah muda. Dekat sekali dengan aku, membuat aku jadi pingin meremas dan mengulumnya.

“Sabar Fir, nanti juga dapat.” dalam hati aku berkata.
“Fir.. ayo lanjutin buka bajunya Vita.” pintanya dengan pandangan berbinar nakal.
Aku melanjutkan aksiku dengan memegang kedua pahanya dan menggerakkan kedua tanganku ke atas berbarengan. Sehingga roknya tersingkap ke atas sampai perut. Lalu aku raih CD-nya dan menariknya ke bawah dengan tiba-tiba.
“Ahh, Fir..!” Vita menjerit kecil karena tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang. Lalu tangannya meraih pinggangku dan berpegangan agar tidak jatuh. Dan dengan tidak sengaja ujung Mr. P ku menyentuh bagian atas perutnya. Terasa sedikit geli. Vita terdiam dengan posisi masih memegang pinggangku lalu dia melepaskannya dengan tiba-tiba sambil mundur dan tangannya memegang bagian bawah perutnya yang masih terbungkus rok.

untuk download film blue terbaru silahkan klik disini

“Hi hi, kok Vita nggak ngerasa kamu melepas CD. Pantas aja rasanya agak dingin.” Dia tertawa kecil sambil berkata begitu.
“Hmm.. uhmm” mulut kami masih berpagutan dengan lidah saling menjilat.

Ketika tangannya bergerak ke belakang tubuhnya, lalu terlepaslah pembungkus tubuhnya yang masih tersisa. Sekarang Vita benar-benar telanjang. Dan nafasku terasa berhenti ketika melihat kemaluannya yang punya bulu-bulu halus berbentuk segitiga. Aku menelan ludah dengan agak susah.
“Kenapa Fir, heran ya lihat punyaku.” tiba-tiba Vita berkata mengagetkan aku yang masih terpesona dengan pemandangan di depanku.
“Eh, iya.. Vit, boleh aku pegang Miss V kamu?” aku memohon.
“Jangan Fir.” Katanya sambil mendekatkan pinggangnya ke pinggangku.
Aneh juga, tidak mau tapi malah mendekat. Aku rasakan gesekan lembut antara Mr. P ku dengan rambut Miss V nya.
“Hmm.. ahh.. sshh” Vita mendesah lirih sambil memejamkan matanya.
“Wah kesempatan nih” pikirku.
Lalu aku rengkuh punggungnya dan kupagut lagi bibirnya. Dia membalas dengan penuh nafsu.

“Ahh, jangan Fir. Aku takut hamil.” rengeknya ketika aku mulai menyentuh Miss V nya.
“Santai aja Vit, gak bakalan hamil deh.
“Ya udah, Fir.. jangan kasar ya.” gumamnya lirih.
Aku kecup lagi bibirnya sambil tangan kananku mengelus lembut bibir Miss V, sementara tangan kiri meremas lembut payudaranya bergantian kiri dan kanan.
“Hmm.. shh, terus Fir, enak banget. shh” Vita mulai meracau keenakan.
Tangannya yang sedari tadi terus memegangi pundakku mulai beraktifitas menjelajahi leher dan dadaku. Sementara itu aku kecup lembut puting sambil tangan kiriku masih mengelus daerah selangkangannya.
“Shhtt.. Fir.. ahhss.. terus Fir” Vita semakin keras meracau dan agaknya dia sudah hampir mencapai puncak kenikmatan.
“Ahh..” Sambil badannya melenting kebelakang dengan kepala mendongak Vita akhirnya mencapai kenikmatannya yang pertama.
“Hmmff..Fir, rasanya enak banget. Kok, kamu gak merasa apa-apa?” Tanyanya sambil memeluk leherku dan menatap mataku.

Dengan posisi seperti ini aku bisa melihat jelas kulit wajahnya yang berkeringat, dan dadanya yang masih membusung masih menempel di dadaku.
“Vit, kamu santai aja dulu, sambil berkata aku mulai lagi mengecup lehernya dengan lembut, lalu meniupkan nafasku ke dadanya. Hal ini membuat Vita mengerang lagi.
“Sst.. Fir.. eh kamu nakal ya. Lalu mulutku mulai merayap turun ke dadanya dan menjilati putingnya bergantian kiri kanan selama lebih kurang lima menit.
“Sst.. ahh.. hmm” Vita mulai meracau lagi. Gairahnya mulai muncul.

Tangannya kini telah memegang Mr. P ku yang sedari tadi terus mendongakkan kepalanya. Lalu aku rebahkan Vita di atas meja. Aku beringsut mundur dan meraih kedua pahanya, lalu dengan tiba-tiba membenamkan kepalaku diantara kedua ujung pahanya.
“Ahh.. Fir geli.. ahh.. sstt.. ohh. Enak Fir” Vita kaget lalu mendesah nikmat.
Birahiku semakin menjadi mendengarnya. Mulutku menelusuri setiap inci tubuhnya yang berkulit putih dan lembut. Merayap naik dari Miss V nya sampai leher. Lalu kukecup bibirnya dengan lembut. Tangan kanan Vita mengelus-elus Mr. P ku dengan lembut.
“Terserah kamu fir.” pelan Vita berkata.

Setelah aku bisikkan, “Aku menginginkanmu Vit.”
Lalu dengan lembut, aku tarik kedua kakinya sehingga menjuntai dari tepi meja, dan kakinya aku renggangkan sedikit tetapi masih menjejak karpet, sehingga Miss V nya yang sudah basah semakin menantangku. Kusentuhkan ujung kepala Mr. P ke Miss V nya, lalu aku gerakkan ke atas dan ke bawah dengan perlahan. Nikmat sekali.
“Hmm Fir, cepetan dimasukin, tapi pelan-pelan ya.” Vita mulai memohon karena sudah tidak tahan dengan rangsangan yang aku berikan.

untuk download film blue terbaru silahkan klik disini

Aku letakkan ujung Mr. P ku tepat di atas lubang Miss V nya, lalu dengan perlahan aku dorong. Agak susah juga, sering meleset, padahal cairan yang dikeluarkannya lumayan banyak. Aku hentikan usahaku, kudekatkan kepalaku ke Miss V nya lalu aku sedot cairan yang ada. Sekarang Miss V nya sudah agak kering.
“Sshh.. Fir.. geli.. ayo dong masukin.. cepet.. hmm” Vita mengerang kegelian.
Kucoba lagi memasukkan ujung Mr. P, sekarang berhasil. Lebih kurang 3 centimeter ujung Mr. P yang terbenam. Aku dorong dengan pelan, lalu kutarik lagi dengan pelan. Ku ulang sampai 4 kali. Hal ini membuat kepala Vita menggeleng ke kiri dan ke kanan sambil mendesah nikmat.

Lalu dengan tiba-tiba “Bles..” Mr. P ku berhasil menerobos keperawanannya.
“Ahh..Fir, sakit” Vita merintih.
“Cup.. cup.. ss” aku coba menenangkan Vita, lalu kukecup bibirnya dengan lembut.

Mr.P masih terbenam di Miss V, sengaja tidak aku gerakkan pinggulku. Aku ingin merasakan sensasinya. Perlahan Miss V nya mulai berdenyut, dan Vita sudah tersenyum nakal. Lalu kami berpagutan dengan ganasnya. Pinggulku kudorong naik turun dengan pelan, sambil kedua tangan meremas payudaranya. Vita juga aktif mengelus punggungku dengan cepat. Sesekali didorongnya pinggulnya ke atas. Sehingga ujung Mr. P ku terasa menyentuh dinding rahimnya.

Aktifitas ini berlangsung lebih kurang 20 menit, sampai ketika Vita menjerit tertahan sambil menggigit pundakku.
“Ahh.., Fir.. aku nyampai”.
Pada saat yang sama kurasakan Mr. P ku seperti diremas-remas dan basah. Remasan yang seperti pijitan lembut menimbulkan rasa nikmat di batang Mr. P. Aku semakin mempercepat gerakan naik turun, lalu..
“Ahhrhh..” aku melenguh panjang menyemprotkan cairan hangat.
Kami berciuman mesra dengan Mr. P ku masih di dalam Miss V nya.
“Gila Fir, kok masih tegang” Vita kaget karena tahu kalau Mr. P ku masih tetap tegang.
Kami berdua tertawa lepas ketika terdengar suara nenekku memanggil.
“Fir, sudah hampir malam. Apa nak Vita nggak dicari ibunya?”.
“Iya Nek, sebentar. Kami masih nonton film.” sahutku sambil tersenyum ke arah Vita.
Vita membalas senyumku.
“Oh indahnya.” dalam hati aku bersorak.
Setelah merapikan baju dan rambutnya, aku mengantar Vita pulang ke rumahnya. Semenjak itu kami jadian.

E N D